Total Tayangan Halaman

Senin, 07 September 2015

Ini bersama kawanku, Bagus

Prolog

kapan lalu waktu itu, seorang kerabat menghubungiku, minta diajarkan menulis katanya, tulisanku mantap katanya. padahal, bagiku tulisan dia (yang kulihat di status- status facebooknya) sudah berkarakter. tapi ya sudah, ga ada salahnya juga belajar bareng. masalah selanjutmya, metode apa yang kupakai untuk mengajari menulis? karena sebenarnya aku ga pernah belajar kan? nuang gitu aja kan? ah kalian ndak tahu ya? ih payah.

lalu saja, kami sepakat membuat cerpen bersama, dengan cara saling umpan dengan tulisan- tulisan. dan ini dia hasilnya.

nb :

tinta hitam berarti tulisan kawanku itu, sementara yang merah berarti aku. 

Rekan se-jawat

Kopi sudah di meja tetapi si kopi ini bingung karena dia sendiri di atas meja, sendiri adalah sebuah kondisi tak berteman, ditemani atau menemani seseorang. Tapi sendiri juga belum tentu sendiri, karena otak selalu bekerja dan pikiran selalu berkelana, dan itu yang sedang di alami si kopi. Dalam kesendirian itu, ternyata ia tidak sendiri, dan itu yang membuat si kopi bingung. Ternyata si kopi sedang  merindukan sang temannya, sang teman yang dalam kebiasaan keseharian selalu menemaninya menghabiskan waktu, dan jebul... ternyata  hari ini dia mendapati sang teman hilang.
Kopi mengeruh, cangkirnya tak kuat meredakan panasnya. Dia marah. Retakan- retakan muncul ditubuh cangkir. Lalu terbelah. Kopi merambah keluar mencoba merambat. Dia tidak terima ditinggal sendiri. Rambatannya menyelimuti permukaan meja, menggali ke setiap celah merasuk memasuki serat. Tekadnya sudah bulat.
Di jelajahinya seisi meja, mencari sang teman yang tak kunjung datang. Dalam ikhtiar pencariannya, bertemulah dia dengan sesosok lusuh di sisi pinggir kiri meja. Ialah asbak, dandananya kumuh, kotor, dan bentuknya pun sudah tak karuan. Kemana-mana si asbak lusuh itu membawa bertumpuk kotoran dibadannya. Kopi bertanya pada asbak, “wahai asbak apakah engkau sudah hilang akal, kemana-mana membawa setumpuk kotoran seperti itu?”. Asbak hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyuman. Sadar pertanyaannya tak kunjung dijawab, kopi pun bertanya lagi pada si asbak, “wahai asbak, aku mohon, tolong jawab pertanyaanku, mengapa engkau kemana-mana selalu membawa kotoran?”.
Melihat kesungguhan kopi, asbak pun menjawab, “begini kawanku, sejatinya inilah jalan hidupku, bila kotoran ini tak kubawa, maka engkau akan menemukan seisi meja penuh dengan kotoran”. Sebuah jawaban singkat yang kemudian membuka perbincangan lanjutan yang lebih panjang, asbak kemudian menceritakan masa lalunya, dia menceritakan bahwa sejatinya dahulu dia adalah sebuah gelas kaleng yang mengkilat, berhiaskan cat berwarna kuning bersih dan pernah mencicipi sebagai wadah berbagai minuman mulai dari teh, susu, wedang jahe hingga beraneka ragam kopi dari berbagai daerah. Tetapi pada suatu ketika, karat menyerang sang asbak lusuh. Di dapatinya tubuhnya berlubang, sehingga sering berbagai minuman yang dituangkan kedalamnya dulu tetes, bocor dan meluber kemana-mana. Itulah saat dimana ia disingkirkan oleh si pemiliknya, tetapi karena kebaikan hati si pemilik ia digunakan kembali, hanya tugas dan tanggung jawabnya saja yang berbeda. Demikianlah cerita si asbak kumuh kepada kopi yang sedang gundah mencari kawan karibnya itu.
“lalu bagimu apakah aku kotoran?” tanya kopi menanggapi.
“tergantung perspektifnya kawan” jawab asbak.
“sudah jawab saja.”
“kenapa kau berpikir kau kotoran?”
“aku tidak berkata demikian, mungkin karena...... aku sedang bingung. Aku sedang bingung mencari dimana temanku, yang tak biasanya dia menghilang, meninggalku di atas meja”, pernyataan jujur dari si kopi. Kopi pun bercerita tentang temannya, rokok. Rokok adalah sosok teman yang sangat penting bagi si kopi, ia teman yang pandai bergaul, inspiring, dan pintar. Banyak ide sering ditelurkan oleh rokok, entah sudah berapa banyak pemikir di dunia ini yang sudah mencicipi ide-ide gila dari si rokok itu.
“kau penganut darwin?”
“aku tak tau apa atau siapa itu darwin, tapi bisa jadi ia orang yang sudah memplagiat ide-ide temanku, si rokok itu”.
“bagaimana jika temanmu sudah berubah?”
“oh, darwin yang berbicara evolusi itu?”
“kau harus tahu, tidak semua perubahan itu bentuk dari pertahanan hidup.”
“kau mau bilang apa sih?”
“temanmu itu, bukan lagi rokok, dia berubah. tidak untuk menjadi bertahan hidup, tapi sebagai perwujudannya yang dikehendaki tuhan. Tersulut api sebagai pengorbanan. Kau boleh melihat jasadnya kalau kau mau.”
“kau gila.”
Kopi mengeluarkan gelembung- gelembung, asam yang dikandungnya menghasilkan gas tersulut emosi. Dia merambat mengepung asbak, tidak terima temannya dikabarkan mati.

Dia menyusupi celah celah asbak yang muncul karena karat, hanya untuk menemukan fakta bahwa asbak tidak berdusta. ***

Dongeng Dua Bulan Terakhir Ini

Malam itu, 2 juli 2015 memasuki hari berikutnya, suara dekuran merpati sayup- sayup terdengar dari balik tembok penyekat antara ruangan pemilik rumah dengan ruangan yang kutempati untuk tidur bersama dengan 7 lelaki lain. Berdelapan, kami adalah bagian dari 30 pendatang  yang kebetulan harus dipisah tempat tinggalnya karena bukan perempuan.
Girirejo adalah nama tempat itu. Sebuah desa bagian dari Imogiri, Bantul yang masih dibagi menjadi 5 dusun lagi. Di tanah itulah, selama 120 kali putaran jam dinding kami dilepas guna memperlihatkan seberapa jauh ilmu yang kami pelajari bertahun- tahun di tempat kami berguru berguna bagi masyarakat, sebagaimana kata W.S Rendra, “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : di sini aku merasa asing dan sepi.”
Berbagai usaha kami lakukan guna melihat senyum penduduk setempat, kami menyediakan media bercocok tanam, kami mengajarkan bahasa asing, kami memperkenalkan binatang liar, hingga kami bergerak pergi bersama menuju ke luar kota guna bergembira ketika belajar bersama.
Lalu apakah kami lebih ahli dari mereka?
Pengalaman adalah guru terbaik, dan kami membuktikannya. Banyak dari kegiatan kami justru berhasil ketika campur tangan penduduk setempat bersambut. Menyediakan tenaga dan bantuan material sehingga semua terlaksana. Ada kehangatan dari tangan- tangan itu, kehangatan yang mungkin lama tidak dirasakan oleh kami yang sekian waktu terlalu menuntut ilmu.
Malam itu, 29 agustus 2015 memasuki hari berikutnya, suara dekuran merpati sayup- sayup terdengar dari balik tembok penyekat antara ruangan pemilik rumah dengan ruangan yang kutempati untuk tidur bersama dengan 7 lelaki lain. Suara dekuran yang sama dengan yang kudengar pada malam pertama. Bila aku boleh berprasangka, burung itu ingin menyampaikan,


“selamat datang” dan “jangan pergi”