Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

kemarin Hidayah Menghampiriku

                    kemarin hidayah datang
tapi aku sedang tidak ada di tempat
aku sedang bercumbu
        bercinta
    membuat beberapa dosa
aku tidak jadi taubat seketika


kemarin..
hidayah nur Ilahi menghampiri
tapi aku sedang berada di daerah kos kosan di pinggiran universitas kondang jogja
di bulan puasa,
        siang bolong,
    aku tengah berciuman dengan kafir
hidayah mutung, marah, mulih, tidak mau kembali


HIDAYAH!!

    datang lagi dong
    hari ini aku di rumah kok
    aku sudah terima pesanmu
    yang kamu titipkan pada ibuku

HIDAYAH!!

    sini...
    datanglah kau kepadaku
        biar besok mati
        aku masuk surga

ini hari jumat
bukannya jumatan..
aku malah berzina, hahaha
aku tidak puasa loh

kamu
pasti
emosi

takdir juga sih yang milihin cewek itu

coba,

takdir datangkan gadis yang seperti putri nabi Muhammad yang namanya siapa itu? patimah?
pasti

    aku mati gaya

NASIB GOBLOK

    sia yang saalah kalau begitu?


  

kakiku di kepalamu, kepalaku mana?

kepala                 punya                    ku
    pundak            punya                ku
        lutut            punya            ku
            kaki        punya        ku
                       di atas
            kepala     milik        mu
        pundak         milik            mu
    lutut                milik                mu
kaki                     milik                    mu


                kepalaku
            terombang- ambing
                    pundakku
                bergetar
                    lututku
        lemas tak berdaya
        kakiku
                    mati rasa


diatas                sensasi            maksimal

                kepalamu
            cemerlang
                    pundakmu
                merangsang
                    lututmu
        menantang
        kakimu
                    memaksaku menggelinjang

merangka, merintih, tertawa, panuan

aku menjerit!
sejumput jarum menancap telak pada pupil mata
menunanetrakan aku, jadikanku gelap
meringkusku, menyekapku, merantai masa depanku
memaksaku jadikanmu yang terlihat terahir ku


aku ingin mengumpat selain ASU, apa ya?
soalnya kamu menjinakkanku
mencencangku dengan pilinan pilinan rambut berkarat indahmu di leherku
aku jadi terpaksa menjadi budakmu ini lho..

sudah sudah..
kamu jiga sudah tahu kan?
akuterjajah olehmu

sudah sudah..
kamu pasti sudah tahu, aku yakin itu
aku sudah tunduk takluk teklak tekluk padamu

sudah...
sudaaah...
sudah dong ah...
gelii...

terhuyung huyung aku mencoba mengangkat sendal yang kau gunakan untuk menginjakku
tapi kamu kesandung pun tak tampak
kamu bagiku hittler betina dari negari dimana syuting kera sakti yang booming dinegara pulau kelapa tombak bambu
aku kalah dalam adu kukuh dengan kamu


sik sik tunggu dulu..
jangan dikira aku gak bisa liar..
lihat mata kosongku rambut acakku..
aku sudah gila karna terlalu tergila gila olehmu
sifat sinis nyebaimu justru membuat buah H.A.T.I di pohon asmara ku jatuh tepat di jidatmu
Hasrat
    Asmara
        Tujuan
            Iman

khawatirlah.. siagakan hatimu
kamu perlu siapkan p3k lengkap dengan ambulans dimana dokter bedah hati berjaga di dalamnya
karena aku ini pantang menyerah untuk urusan cinta
percaya deh,

jangan dikira aku gak tahu
jangan dikira aku tertipu

aku tahu!
keras hatimu palsu
aku tahu!
isi hatimu itu lunak seperti lencung
tapi kamu tidak tahu..
aku yang menipu
aku yang sengaja ngalah sama kamu
aku yang sengaja menyerahkan diri menjadi budakmu untuk obsesiku

belum... belum...
kamu belum tahu,
ya!
    kamu
belum
    tahu!!!
cihuy!!

suara- suara//janda-janda (cerpen pertama men, elik)

Ny. Ngadiyem Joyosukarno (R.I.P, fannaly)

              Aku kembali terbangun malam ini, untuk kesekian kalinya, suara- suara bising memancing rasa ingin tahuku untuk mengintip melalui jendela ruang tamu rumah orang tuaku.  Gelap, aku memicingkan mata, memang tidak ada apa- apa. Aku mencoba mendengar suara- suara bising tersebut untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung di salah satu Rumah di daerah lereng gunung sempu, tepat di seberang jalan. Suara wanita tua, seperti malam- malam sebelumnya, merengek- rengek dengan teriakan lemah meminta petugas ronda untuk membukakan pintu. "wong rondha, ngakke lawang…!" berkali- kali kalimat itu yang terdengar. Sayup- sayup suara wanita lain dengan nada tegas menyuruh pemilik suara tua tersebut untuk tidak berisik dan kembali tidur. Terdengar suara wanita tua tersebut semakin menjadi- jadi. Dia mulai menjerit, mengaduh, merintih dan dari suaranya yang tersendat- sendat aku menyimpulkan bahwa si wanita tua itu mulai menangis. 

             Ny. Ngadiyem Joyosukarno, janda dari Alm. Gidin Joyosukarno. Lebih familiar dipanggil Mbah Joyo, anak sulung dari Alm. Paidi Harjopawiro, seorang jagabaya di kampung halamanku dengan Alm. Painem, pasangan yang juga telah melahirkan Alm. Ayah dari ibuku, Sarju Gitosudarjo.  Sebagai orang yang bisa dibilang cucu, hanya itu yang bisa ku ketahui dari masalalu beliau, itupun aku tahu dari bagan silsilah keluarga yang kebetulan aku temukan di tumpukan barang tidak terpakai di gudang kediaman nenekku. Ketika aku masih duduk di bangku taman kanak- kanak, hampir setiap hari aku bermain di halaman luas bagian dari rumah beliau bersama cucu- cucu yang lain, kami memanjat pohon jambu mete, berkejar- kejaran, dan sebagainnya . Ketika itu, yang aku tahu beliau sudah tidak bersuami, untuk mengisi masa tuanya, Mbah Joyo menyibukkan diri dengan membungkusi kacang- kacang kedelai guna dijadikan tempe di dapur tua belakang rumah yang dia diami bersama anak cucunya. Tak jarang, aku masuk ke dapur rumahnnya untuk meminta sebungkus kecil krecek, istilah untuk kedelai calon tempe yang belum mengeluarkan jamur. Pembawaannya yang ramah, membuat aku, dan teman- teman yang lain menyayangi beliau, ketika itu. Mbah Joyo lah pemilik rumah yang berada di selatan gang Ramawijayan, menghadap persis rumah dimana aku tinggal. Sesekali, ketika tempe- tempe beliau selesai produksi dan siap jual, Mbah Joyo biasanya akan menyisihkan satu kantong besar tempe mentah untuk keluargaku, entah beliau antarkan sendiri atau menyuruh seseorang untuk mengantarkan ke rumahku. 

          Di teras rumahku, terdapat semacam rumah kecil berdinding anyaman bambu dimana Alm. Kakekku menampung seorang janda tua yang tidak memiliki keturunan. Ny. Mangun Dikromo, orang yang mengasuh ibuku ketika masih kecil, hingga ibuku menikah  dan memiliki anak, giliran aku dan kedua kakakku yang diasuhnya. Biji dari jambu mete yang berhasil aku kumpulkan dari pekarangan Mbah Joyo ku bawa ke gubug mbah mangun dan meminta beliau untuk menggorengnya.

            Seiring berjalannya waktu, aku tumbuh dewasa dan mulai melupakan pekarangan tempat aku bermain dulu, pohon jambu mete tanpa ku sadari telah lenyap dari pekarangan tersebut. Rumah tua bermodel joglo pun telah direnovasi  setelah hancur karena gempa tektonik beberapa tahun silam.  Beberapa kali  aku mendengar  kabar bahwa Mbah Joyo terpeleset dan tulangnya retak  sehinnga harus di rapikan dengan platina dan sejak itu beliau tidak mampu membuat tempe lagi, kepikunan mulai melandanya. Mbah Mangun yang dulu membuka warung bubur pun kini hanya menghabiskan sisa usianya dengan rutinitas yang tidak pernah berubah. Bangun pada dini hari, menyapu pekarangan rumahku yang beliau anggap nglemeske awak, lalu hanya duduk di depan gubugnya pada sebuah kursi panjang yang sengaja dibelinya dari penjaja yang kebetulan lewat. Memperhatikan jalanan yang tidak terlalu ramai, menyapa anak- anak sekolah dasar yang pulang sekolah dengan ramah, hingga ketika adzan maghrib dikumandangkan,  wanita tua berbadan gemuk itu dengan terseok- seok berjalan memasuki rumahnya dan menyalakan radio tua yang setia menemaninnya. Setiap pagi, Ibuku atau tetangga yang lain mengantarkan makanan untuk beliau, sambil berbasa- basi sebentar untuk menggembirakan hati manula yang kesepian tersebut.

             Tidak hanya sekali ketika aku hendak berpergian, aku melihat Mbah Joyo bertelanjang dada dan hanya mengenakan jarik untuk menutupi kemaluannya. "Sudah sepikun inikah nenek tua itu? Atau sebenarnya beliau sudah tidak waras?" tanyaku dalam hati tanpa mengharapkan jawab.

             Sampai suatu ketika, Mbah Joyo menjadi kerap menghampiri Mbah Mangun dan Marah- Marah dengan alasan yang tidak jelas, Mbah Mangun yang merasa bahwa Mbah Joyo adalah keturunan orang penting hanya bisa mengalah dan hanya bisa menunggu anak cucu dari janda pikun itu menuntun pulang orang itu. Pernah suatu hari Mbah Mangun yang sudah tidak bisa menahan amarah berteriak dengan tegas kepada Mbah Joyo, entah apa yang dikatakannya. Ketika aku sudah berada di tempatkejadian perkara, yang tersisa hanya para tetangga mencoba menenangkan Mbah Mangun dari tangisnya dan Mbah Joyo yang berteriak "Tai! Tai! Tai!" dari seberang jalan karena dia sudah di tarik oleh Budhe Ati, anaknya. Menurut cerita Mbok Win, Mbah Joyo menarik- narik pintu gubuk Mbah Mangun yang ketika itu terkunci, sehingga engsel berkarat pintu tersebut rusak.

              Aku mulai menduga- duga penyebab perubahan sikap Mbah Joyo yang dulu sangat manis dan ramah menjadi sesosok wanita yang kasar dan pemarah. Senyum tulusnya telah lenyap bersamaan dengan habisnnya gigi beliau. Mungkin karena kesepian, mungkin karena renovasi rumah membuatnya merasa asing. Sesekali aku menyempatkan diri duduk santai di teras rumah mencari inspirasi, dan yang tertangkap oleh mataku justru wanita renta tersebut. Kulitnya telah kendor karena daging yang ditutupi telah lenyap. ketika ku lihat beliau bertelanjang dada, tampak jelas payudaranya terjuntai tanpa isi, tulang rusuknya terlihat dengat sangat jelas. Kadang aku berfikir, "kok ya masih hidup ya?" aku memprediksi usiannya, sudah menembus 100 tahun mungkin. Luar biasa, mengingat kondisi fisik dan mentalnya tersebut.

          tahun lalu, ketika aku belum ada satu jam membuka pintu toko mainan dimana aku sempat bekerja paruh waktu, ponselku berbunyi. Ku lihat siapa yang menelfonku, Yudha, tetangga yang sudah bersahabat denganku semenjak kami masih belum mengenal bangku taman kanak- kanak.
Ku angkat telfonku,
      
     "piye mbel? Ada apa?" aku menyapa dia seperti itu, karena memang dia di juluki gembel diantara teman- teman yang lain karena dia ingin sesekali hidup menjadi gembel di luar kota sesekali.
"lagi neng ndi wit?"
"makaryo, piye to?
"anu wit, ngene lho," yudha memulai pembicaraan serius.
"pie ono opo kok njanur gunung?" tanyaku tak sabar
"iso mulih saiki ra? Mbah mangun ki sedha je"
          
aku terdiam sesaat, mencoba mencerna apa yang baru saja sahabatku itu katakan. Kalau tidak salah tangkap, temanku ini baru saja memberi informasi bahwa Mbah Mangun, janda tua yang kesepian itu meninggal, nenek yang ramah itu telah berpulang, pengasuhku ketika aku belum bisa mengguyur kotoranku dulu telah mati.

"wit?"

      Yudha menyadarkanku dari lamunan. Aku tidak salah dengar, Ny. Mangun Dikromo telah lulus dari ujian dunia ini dan dengan sah menyandang gelar Almarhummah. Beliau telah memenuhi syarat terahir untuk diserahi sertifikat berupa batu nisan yang telah dianggap sah. Beliau memang benar telah menyusul suaminnya ke akherat. Yudha menyudahi telefonnya. Aku segera menelfon Himawan, orang yang memperkerjakan aku di toko tersebut. Aku meminta libur hari itu juga. Ku tutup toko, dan aku pulang.

*****************************

           "wong rondha, ngakke lawang…!" Kembali mbah Joyo berteriak- teriak, nampaknya dia benar- benar ingin keluar dari rumah tersebut, mencari kebebasan, mencari suasana baru, meningalkan dunia yang telah melupakannya, mencari-cari orang yang dulu patuh dan setia kepadanya. Aku menutup jendela dan menyudahi kegiatanku mengintip kegaduhan tengah malam itu. "Sinting." pikirku dalam hati, dan aku kembali melanjutkan tidurku.

             

Mengintip celana dalam bidadari

halo, apa itu yang di langit?
seakan iklan minuman soda,
berjuta inspirasi ambyur kedalam kepala
         luar biasa

bukanya mesum, bukan bukan, bukan bermaksud untuk mesum
pertama kutatap tanpa unsur kesengajaan
dan ini masih yang pertama, percaya saja
hanya saja secara tidak bersahaja tentu saja
aku mengerahkan segala rasa penuh tipu daya untuk bertahan tidak berkedip


yang di langit..
bukan yang di langit langit
bukan pula yang semangit

yang di langit
tepat persis di atas kepalaku
memaksaku untuk menahan rasa pegal karna bertahan untuk tetap tengadah
berwarna merah maroon
membuatku ternganga tak percaya karena diluar hipotesa saya
karena
asal kalian tahu
bahwa di surga sana
bidadari pun
                                      memakai celana dalam
aku bisa tahu
karna posisi yang menguntungkanku
aku berdiri tepat dibawah rok mini bidadari jelita

            luar biasa
fantasiku kemana- mana
imajinasiku tak tertata
keindahan yang takterkata
seakan aku merasa
diberi sedikit gambaran..

seperti apa itu surga

Tuhan, jatuhkanlah dari langit sebongkah daging lengkap dengan semua lalapnya


    LAPAR!
        Pria pria gembel menjerit meminta tuhan memberi mereka sebongkah daging panggang lengkap dengan segala lalapannya jatuh dari langit.
betapa cerdasnya mereka menganggap tuhan mau mendengar doa mereka yang membiarkan anak- anak mereka dibeli untuk diperas tenaganya.
    mereka bahkan tidak sempat untuk iri kepada orang orang gembrot yang menimbun kekayaan di perutnya.
    yang membekali anak anak mereka dengan seperempat dari kekayaan negara.
para lacur tak ambil pusing dari itu,
    selama pria pria gemuk masih membutuhkan mereka,
tidak susah meninggalkan suami mereka yang gembel yang telah menjual anak mereka.
        anak anak mereka yang telah laku enggan berfikir.
    untuk apa sekolah, aku lahir untuk mengamen, kutepukkan tanganku, kenyanglah aku,
                            tak jauh bereda dengan raja raja
    tak sama dengan anak anak konglomerat yang dikekang dan dijejali dengan ilmu ilmu bimbingan belajar
    mereka frustasi dan lari menghampiri daun daun nikmat dari surga
        ah.. ada anak kecil menangis, berakting agar para dermawan mau memberi mereka makan,
    ANDAI bocah kecil yang menangis itu mau memberi sertifikat tanda terimakasih,
            percayalah, akan makin banyak dermawan di dunia ini.
banyak cara untuk hidup senang.. tak perlu jujur, lihat mereka.
        lapar
            dusta
                kenyang
                    lapar
                        diam
                            mati
                        lapar
                    jujur
                lapar                               
                    lapar                       
                        lapar                       
                            mati           
                        muntah                   
                    kenyang
                haram
                    kenyang
                haram
            gampang
        uang
    dusta
lapar
    sekarang aku yang lapar, tak mau aku menggelepar, tepar
    aku ini mahasiswa, bukan gembel seperti mereka
    aku punya ijazah dari sekolah dasar hingga tamat sma, apa guna?
    aku gadaikan saja. demi menghentikan alunan nada ukulele di perutku
    tolol, siapa yang mau menggadai ijazah, tak laku tuk dilelang
    ya! mahasiswa seperti aku tak berbeda dengan pria gembel yang meminta makan kepada tuhan
    lalu,
        kenapa aku tidak berdoa seperti mereka? bukankah sama saja?
    aku menjerit,
    LAPAR!
    lalu kenapa? tunggu sejenak, nanti mati juga
    LAPAR!
    sabarlah, tak akan lama
    LAPAR!
    ya ya, aku tahu
    TOLOL,     membiarkan jalan pikiranku di isi kelaparan,
   
        otakku masih berjalan, otak ku masih benderang,
        aku adalah mahasiswa yang mampu berfikir,
        aku melambangkan masa depan negeri ini!
        tapi aku memang tolol, terbukti aku telah dikuasai oleh lapar
        lapar yang sangat,
        aku tak mampu mengelola uang yang setiap bulannya dicarikan orang tuaku entah bagaimana caranya
    sekarang aku hanya bisa menjerit, lapar!
    tak ada bedanya dengan gembel gembelsuami pelacur yang menjual anaknya
    terdiam aku di kamar kos yang harus dibayar sewanya bulan depan
    dan aku masih harus menahan lapar bulan depan

    KERJA, KERJA, KERJA!
    bergerak saja aku tak bisa, mataku kosong, aku lapar
        aku menjerit,
    LAPAR!
    ya Tuhan, jatuhkanlah dari langit sebongkah daging lengkap dengan semua lalapnya

Hongib Hongib

AYO GELUT!!! AYO GELUT!!!
aku menantang setiap nurani hongib yang demi Allah tega teganya mengorek isi dompetku
menjumput lembar terahirku yang sejujurnya MasyaAllah hendak kugunakan hidup hingga minggu depan
apa salah aku hanya karena jalanan terlalu penuh aku menginjakan ban ban tipisku di marka jalan kekuasaanmu

Ayo Gelut!!
kau seharusnya tahu tak ada celah bagi seorang rakyat seperti aku yang slalu bahagia bila ada pesta resepsi menang melawan tenaga badak penegak undang undang lampu merah
membayangkan terkena tempelengmu mungkin aku akan keluar biaya lebih banyak untuk opname karena mungkin kepalaku akan terlepas dari tempat nongkrongnya
tapi ini soal harga diri bung!
teringat kata seorang teman yang usianya di atasku berkata awakku remuk rapopo sing penting kowe yo loro
andai pria pria gemuk yang gemar duduk duduk baca koran di pos mereka atau pria pria gemuk yang ada di sebrang jalan menunggu pelanggar lalu lintas atau pria pria gemuk yang tertidur di senayan sana tahu
andai pria pria gemuk itu tahu bahwa keadaan ekonomi setiap orang tidak sama
MEREKA PASTI TAHU
hanya tak mahu tahu
MEREKA HARUS TAHU
tak perlu diberi tahu
bagi mereka di tanggal tua tetap bisa makan enak dengan keluarga atau selingkuhan mereka
membayangkan mereka menelan setiap butir nas aking akan sama hasilnya dengan membayangkan melihat surga

Ayo gelut!
hanya dalam teks teks yang ku ketik aku berani menantang berkelahi para hongib itu
membayangkan aku berkata seperti itu tepat di depanmu saja membuatku bangga
aku ingin menjadi pahlawan layaknya robin hood yang berani melawan hongib hongib dan dielu- elukan rakyat
yang diperankan oleh aktor tampan di sinema sinema entah holiwudatau boliwud

ayo gelut!
masih memendam dendam dariku meskitelah bertahun terjadi
menciptakan aku memiliki rasa antipati terhadap polisi
ayo gelut!
andai aku tak bisa mati seperti perompak dalam pirates of carabian jilid pertama aku akan dengan langkah tegap mengencingi setiap posko yang kau tumpangi,
tak peduli saatitu kau sedang bersantai atau menilang
weh weh luweh ayo gelut!
lepas itu sabuk bercenthelkan pistol dan peluit dan handy talkie dan kadang terselip jimat wasiat keselamatan dari dukun-dukun
lepas itu sepatu bersol keras yang paste marem mendarat di tulang tulangku
lepas itu baju kebesaranmu supaya negara ini tidak terlalu tercoreng namanya
lepas itu pelajar pelajar berkantong cekak yang kau tilang karena keberanian mereka mengacuhkan peluit peringatanmu
lepas itu semua dan ayo gelut!
semoga ajian yang kupelajari di suatu padepokan ilmu hitam kelak akan membantuku menyematkanmu di pemakaman yang layak

Pak, Pulang Pak!

gugur geger kandungan hancur
bapak kabur ibu ngawur
enak sedetik eneg di kandung badan
gugur gugur gugur lebur

ooh.. dimana itu tanggung jawab pencabut rumput jembut tukang ngemut
lara liri lari lari lalu lara rela rela

pak pulang pak
pakpungpakpungbapakcepatpulangpakpakpak
lholholho kok ngono kok gitu kok gino kok ngotu lholholholho

bukibukibuk jangan mundur
aku ngoceh diperut bukan asal mrengut semrawut
bukibukibuk jangan kendur
liat nanti kalau ketangkap ibukibukibuk juga pasti ambyur

degjder ditipi ditipu ditapi ditopi ditemu aku
telentang kotong tanpa kutang di tong bawah kolong oblong bekas kobong

hongib mabur mabur nyari yang nggugur guyur kubur

seenaknya ngurut perut biar aku ambrul kopral koprol

mbah mbah mbah mbuh
cucumu gak jadi liat cermat jimat jumat karna anakmu semangat dilumat

heh heh heh heh heh

lucu lucu lucu

hah hah hah

hoooh

enakan disitu pak
asal sogak sogok dapat yang rapet sepisan gol langsung mbleret pet
coba ingat dulu kocak kocok buang ucok di tembok rumah bobrok
ini lho ucok udah mapan di perut emak masih pewe kok disepak sepak

brok bobrok bapak ndlogok ibuk pekok

aku ini calon presiden loh!
seenaknya di aborsa aborsi aborsa aborsi

sana sana sana komisi urusan agama buka sampai siang kok

bapak ndang lamar ibuk dengan mas kawin sperma yang jadi janin

walah walah bapak ibuku masih muda muda muda

Pokoknya tidak ngono!

kucing manak kucing
kabeh uwong weruh kucing
kucing alas kucing kutho
kucing cilik kucing singo
ana sing seneng karo kucing, ono sing gilo karo kucing,
aku seneng kucing,aku gilo karo kucing
kucing kucing kucing
wedokan ngaku kucing
wedokanku seneng kucing
wedokanku ngaku ngaku kucing
kucing wis dudu wedokanku
wis dudu wedokanku ning isih seneng kucing
wis dudu wedokanku ning isih ngaku ngaku kucing
wedokanku sing saiki wedi karo kucing
aku sihseneng wedokan sing ngaku seneng ngaku ngaku kucing
seneng kucing gawening angkara murka ing duniaku
kucing asu kucing kopet kucing dudu asu asu ro kucing nelekke kopet
jenggirat weruh foto kucing sing asline dudu kucing
pancen kopet kucing marai aku wedi yen kelingan kucing
kucing sikil papat luwih meso tinimbang kucing sikil loro nganggo kocomoto
suwe ra kelingan wedi kucing aku mumet kelingan kucing
mumet kelingan kelangan kucing kelangen
ruwet mikiri kucing kucing ra mikiri aku
aku gilo kucing ning pengen nduweni kucing meneh
kucing manak kucing nglairi kucing sing liyo kucing liyo metu meneh
ora ngono aku wedi kucing ora ngono pokoknya tidak ngono
pekewuh ono kucing liyo mrentulake rasa sing pada
gilo ngelingi kucing liyo gilo ro aku sing gilo amargo kucing
gilo0 legining gula asmara saka kucing kucing tumraping ising
semrawut pikirku ngambu ising agunging kucing kucing sutresna
rasakne keloro loro ati lelaraning kucing
pengengolek kucing liyo wedi penyakit kucing manis
kucing manis agawe bubngahing asmara ati saksuwene kucing isih dadi pioro
kucing gawe leloro ra iso ambegan amargo loro saka kucing
sengit karo kucing, nesu karo kucing mergo tresno karo kucing
pangimpen impen nduweni kucing marai bubrah uriping ati marang wedokan menungso
nglali yen wis ngingu cebong golek panda ning tresno isih marang kucing
ngremuk ati leliyo yen eling kucing njur nglali karo cebong
ngremuk ati leliyo yen eling kucing anyar njur nglali karo panda
ngremuk ati leliyo ora urus umpamane leliyo kuwi jebul mung pitik
kucing wadon ono pirng pirang
pirang pirang kucing wadon gawe lelaraning ati mergo gara garaning kucing
kucing neng alas yo manak kucing marahi ati soyo kecing
ngguwang nyowo gara garaning kucing
menyang segoro ngguwang kucing nemu kucing
kucing neng lor,kucingneng kulon, kucing neng kidul,kucing neng wetan
kucing mara saka ngendi ngendi
kucing cilik nylimur dadi singo nyokot neng ati gawe leloro sing jero
kejepit ing lawang sing ke ke kucing kadi njaba
lawang ati sing isine kucing siji ndase telu
wuluning gawe seseg cakare agawe perih siyunge marai gilo
kucing putih resik tetep agawing rontoking wulu atiku sing sansaya jeblok dieker eker kucing
kucing mbeling digusah saka ati ra gelem lungo
kucing methingkring ngeong mrebegi isi utekku sing raiso lali
mbayangke kucing mleding marahi saru sajroning asmara kang ra keno sliro
mbayangke kucing mlenthing agawe mata abot banjir tangising kucing
kucing gering pangarep arep ati ndang sirna banjur njeblug inglathi
kucing manak kucing ngising ndang ngising matio eh ojo ding

Sendang Kasihan : sarana mengintip ibu ibu =.=

Mengawali tulisan ini dengan sedikit curhatan, seringkali saya merasa penat dengan masalah- masalah yang entah kenapa gemar  nangkring dan membuat saya frustasi. Apabila saya sudah mencapai titik jenuh tak tertahankan, saya mengusir rasa itu dengan kegiatan yang sebenarnya tidak ada gunanya dan cenderung merugikan apabila dilihat dari sudut pandang ekonomis. Biasanya, saya memilih cara menghabiskan bensin yang mulai langka dengan sepeda motor bebek yang sudah menemani saya dari tahun 2006, beberapa bulan setelah tidur saya terganggu oleh goyangan goyangan tektonik yang sudah memotivasi ratusan warga yang senasib dengan saya untuk membangun rumah baru. Apabila bebek saya itu mulai rewel karena kurang pakan dan penat saya belum benar- benar hilang, saya akan menambatkan tunggangan saya itu pada gang kecil yang tidak datar dan sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk parkir karena selain kendaraan yang diklarahke memiliki resiko ambruk karenaq kecuraman gang tersebut, kendaraan itu juga akan mengganggu kenyamanan pengguna gang yang lain. Mengabaian pikiran negatif akan keamanan kendaraan dan memantabkan hati untuk masabodoh apabila ada yang memaki karena perjalanannya terganggu, saya memasuki suatu area yang di lindungi dengan pagar tembok yang menurut saya paasti benda itu dibangun bukan untuk dijadikan media perlindungan dari pencuri karena begitu mudahnya pagar tersebut dipanjat, toh pintu masuk juga setahu saya tidak pernah ditutup apalagi dikunci.
    Di dalam, Yang akan menyambut pertama kali adalah pohon besar yang merunduk seakan memberi penghormatan terhadap pengunjung yang berkenan memasukkan uang seadanya ke dalam kotak sumbangan berwarna hijau yang telah disiapkan pengelola tak jauh dari pohon tersebut. Di bawah pohon tersebut, ada sepasang archa yang saya kenali salah satunya, meskipun sudah rusak, adalah archa dari Ganesha, dewa yang diyakini memiliki wujud dari penyatuan gen antara manusia dengan gajah. Belum pernah saya melihat kembang menyan membolos dari kewajibannya mewangikan archa tersebut.
    Adalah Sendang Kasihan, yang secara administratif, menurut internet, terletak di Dusun Kasihan, Kalurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 1,5km ke barat apabila pengunjung datang dari arah Pabrik Gula Madukismo. Lokasi ini saya sarankan bagi pengunjung yang datang dari simpang empat Ringroad selatan, yang oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan prapatan kasihan mengambil jalan lurus kea rah selatan sekitar 1 km.
    Mengesampingkan permasalahan lahan parkir, zona kungkum bagi orang yang masih memiliki kepercayaan terhadap takhayul ini memiliki keistimewaan yang menurut saya bisa mengobati rasa kecewa apabila di kemudian waktu ketika pengunjung hendak pulang menemui kendaraan yang diparkirkan sudah berganti pose dari berdiri gagah menjadi telentang pasrah menanti belaian supaya kembali berdiri. Keistimewaan yang saya maksud adalah air dari sendang tersebut yang bening dan tidak pernah kering. Sendang ini, apabila di amati dari arah timur akan tampak  secara keseluruhannya seperti pohon beringin (atau pohon apa saja bila dalam persepsi pengunjung lain pola tersebut tidak menyerupai pohon beringin) dan apabila dari arah sebaliknya, yang akan terlihat adalah gambaran seperti kendi, semacam dispenser yang dibuat dari tanah liat, jika anda menginginkan benda ini sebagai cindera mata, benda ini bisa di dapat di Dusun Wisata Gerabah Kasongan, kurang bisa menjelaskan lokasinya,  tetapi saya akan yakin tidak akan menghabiskan waktu seharian meskipun anda berjalan kaki.
    Menurut legenda yang saya dapat di bantulbiz.com, timbulnya sumber air yang kemudian dibangunkan kolam ini konon disebabkan oleh tongkat milik Sunan Kalijaga. Diceritakan, dalam pengembaraannya menyebarkan ajaran agama Islam Sunan Kalijaga ngeceng di daerah Kasihan , dimana ketika itu ia membutuhkan air bersih sedangkan POM belum ada, beliau lalu menancapkan tongkatnya ke tanah, ketika tongkat itu di cabut, keluarlah air dari dalam tanah, terus terang saya prihatin kepada pemilik resmi tanah tersebut ketika itu karena air jernih yang keluar ternyata terkumpul dalam cekungan dan ahirnya di kenal sebagai Sendang Kasihan. Menurut legenda lain, Sendang ini erat hubungannya dengan kisah Rara Pembayun, anak perempuan dari Panembahan Senapati. Dikisahkan, sebelum masuk ke wilayah mangir, wanita itu beserta pengiringnya mandi di sendang ini. (tak ada kisah yang menceritakan pengiring beliau wanita semua. Secara logika, mereka perlu pengawalan dari kaum laki- laki juga, sehingga tidak ada salahnya saya membayangkan bahwa Rara Pembayun juga mandi bersama pengiring laki- lakinya)
    Dari proses penyucian diri di sendang ini konon memberi dampak bagi kecantikan Rara Pembayun. Wajahnya tampak lebih muda, bersinar, dan menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Sayangnya, sepertinya ketika itu mereka beruntung mendapat air yang limited edition.  Karena ketika saya mencoba membasuh muka di situ, wajah saya tetap begini- begini saja.  Ketika saya membiarkan imajinasi saya melayang bebas, saya mendapatkan semacam pencerahan berupa fakta di balik kisah itu. Saya menduga sebelum mandi di sendang itu, rara Pembayung sudah beberapa hari tidak mandi sehingga tampak dekil, lusuh, dan kumal. Oleh karna itu, ketika beliau mandi, semua kotoran terlepas dari tubuhnya yang memang pada aslinya sudah highclass.
    Beruntungnya, sepertinya baru saya saja yang menyadari akan hal tersebut sehingga masih banyak kaum wanita yang percaya numpang mandi di kolam tersebut apalagi ketika memasuki momentum H-1 puasa atau H-1 lebaran dimana banyak yang percaya kewajiban mandi wajib akan lebih mustajab bila di lakukan di sendang ini.  Sebuah tontonan yang menyegarkan pikiran dan melepas penat, di dukung pohon- pohon besar yang memberi nuansa sejuk, stress saya akan dengan sendirinya luntur

Dan Sang Pelacur Pun Mencerca


Menyamarkan namaku menjadi Martini, terinspirasi dari merek minuman, aku menjadi  pelacur untuk melayani pria hidung belang kalangan atas. Tak jarang kudapat panggilan untuk menyediakan celah di antara selangkanganku untuk dijejali “lintah” kecil para pejabat negara yang tak bisa dipuaskan oleh istri mereka.
            Keperawananku telah kuserahkan secara cuma- cuma ketika aku masih duduk di bangku SMA kepada mantan pacarku yang dengan lihai kala itu mengelabuhiku. Kunikmati sensasi pedih ketika darah keperawananku meleleh dan menimbulkan rasa geli disekujur pahaku. Selang dua minggu, tubuh dan kehormatanku  dijual oleh pria yang memperawaniku itu kepada guru yang tatkala itu mengancam tidak akan memberinya nilai apabila tidak bisa membujukku untuk bercinta dengan guru botak mesum itu. Berawal dari rasa cinta kepada mantan pacarku, kurelakan jasadku menerima rangsangan dari pria lain. Akan tetapi, semakin berjalannya waktu, hadiah berupa uang tunai yang kudapat menjadikanku gelap mata dan akhirnya secara penuh terjun ke pekerjaan nista itu. Sekalipun, tidak pernah aku berfikir untuk mencari pekerjaan yang kata orang halal.
            Di usiaku yang belum menginjak kepala tiga, aku telah memiliki seorang anak yang kini duduk di bangku taman kanak- kanak. tak tahu lah pria brengsek mana ayah dari anakku ini. Sejauh yang bisa kuingat, aku gagal mendapatkan dokter yang bisa membantu proses aborsi  dan aku tidak mau mengambil resiko dari bantuan non-medis, sejak saat itu pula aku mewajibkan pelangganku untuk memakai kondom atau aku tidak akan mau melayani. Kuputuskan untuk menjadi orang tua tunggal bagi anak itu. Biar kupikir belakangan jawaban apa yang akan kuberikan bila anakku menanyakan siapa ayahnya.
            Sebelumnya, aku tidak pernah memikirkan apapun selain kepentinganku sendiri. Aku mulai tidak percaya adanya tuhan, uang yang kumiliki membuatku tetap nyaman tidur ketika di depan garasi rumahku berdiri pengemis meminta belas kasihan. Hingga suatu ketika, sebuah kejadian memberiku rasa kalut dan memaksaku berpikir jauh lebih dalam.
            Ketika itu, aku mendampingi anakku berdharma wisata di Blitar, tepatnya makam mantan presiden pertama. Kulihat anakku asik berlarian dengan beberapa temannya setelah selesai berziarah, setidaknya itulah istilahnya, meski bagiku, aku hanya menebar bunga diatas gundukan yang digunakan untuk menimbun mayat bapak proklamator itu. Aku duduk di sebuah bangku yang disediakan untuk beristirahat bagi pengunjung. Kulihat, di sebelahku ada pria yang wajahnya entah kenapa tidak asing bagiku. Mungkin pelangganku, atau aku hanya pernah bertemu disuatu tempat. Pria itu mengenakan setelan yang rapi, sepatu pantofel dan peci lengkap dengan jas dan celananya yang sama- sama berwarna putih.
            Ekspresi pria itu tampak sendu, perlahan, tampak butiran air mata mulai meleleh membasahi pipinya.
            “Bapak, Bapak kenapa? Bisa saya bantu?”
Tanyaku kepada pria itu. Tetapi pria itu bergeming, bahkan dia kini menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Kugunakan kelihaianku menggoda pria, perlu waktu yang tidak sebentar, tetapi setidaknya pria itu kini mau menatap wajahku. Dengan suaranya yang khas, dia bercerita padaku
“Saya hanya bisa bersedih melihat apa yang dulu kurintis bersama rekan- rekanku kini telah berantakan.”
Aku terus memperhatikan. Setelah menghela nafas, dia meneruskan ceritanya
“Bagaimana saya tidak bersedih, anak- anakku yang dahulu kubesarkan dengan kerja keras kini berebut tahta, dan di dalam tahtanya, mereka tidak bertindak sebagaimana mestinya.”
“Maksud bapak apa?”
“Aku membayangkan apa yang akan dirasakan oleh Raden Ajeng Kartini apabila ia tahu apa yang dahulu ia perjuangkan emansipasinya kini telah bertindak melampaui apa yang sebenarnya yang dia mau. Kaum hawa dahulu hanya mengenakan kutang karena keterbatasan, kini mereka mengenakan kutang ketat dan berlenggak- lenggok menampilkan kemolekannya di depan yang bukan muhrim. Apa kartini dahulu memperjuangkan yang semacam itu?”
Kupikir pria ini gila, dalam kepalaku kubertanya apa pentingnya bagi dia dengan perjuangan R.A. Kartini.
“aku tidak yakin, hak- hak wanita yang kartini perjuangkan termasuk hak wanita menyerahkan keperawanannya kepada pria yang belum sah menyandang gelar suami bagi si pemilik selaput dara. Aku tidak yakin, emansipasi yang ia perjuangkan termasuk kesetaraan hak bertelanjang dada di muka umum seperti lumrahnya kaum pria. Aku tidak yakin, menjual lubang vagina termasuk pekerjaan yang dirasa layak oleh beliau”
Serasa hatiku di tendang, aku menatap tajam ke pria itu. Bajingan, dalam hati aku yakin pria ini berniat mengolok- olokku. Mungkin dia tahu latar belakangku. Tidak peduli pria itu siapa, aku mendampratnya
“Pak! Kalau bapak tidak suka dengan apa yang saya lakukan, bilang saja langsung! Tidak perlu anda berputar- putar sampai membicarakan masalah emansipasi wanita dan kartini dengan saya! Memangya bapak pikir mereka yang sudah mati masih peduli dengan apa yang terjadi dengan negara ini?” 
Pria itu kembali menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Merasa risih dengan sikap pria itu, aku kembali mencerca
“bapak tidak perlu sok suci dengan saya, lagipula bukan salah saya kalau para pemimpin negara itu hidung belang semua, sudah menjadi tabiat mereka! Lihat itu, mereka yang merekam adegan bercintanya, mereka yang ketika sidang seharusnya memikirkan rakyat malah nonton film cabul, pak, bukan salah si wanita apabila mereka yang menjabat rela membayar pembunuh karena berebut wanita! Salah ya kalau si wanita memerlukan kehidupan layak dan memilih menjadi pelacur daripada menjadi kuli pasar? Saya rasa ibu kita Kartini juga tidak ingin wanita indonesia menjadi supir becak ataupun berlaga di arena tinju!”
Ku selesaikan kalimatku sembari meninggalkan bangku itu, kuhampiri anakku yang kini tengah duduk- duduk karena kelelahan berkejaran dengan temannya. Kulihat keringatnya berkucuran. Kubuka tasku berniat mengambil botol air minum dan tisu untuk anakku, tetapi kedua benda tersebut tidak bisa kutemukan dalam tas ku. Kulirik bangku tempatku bertengkar tadi, mungkin tertinggal disana. Kulihat pria tadi sudah tidak ada. Kuhampiri tempat itu.
Kulihat, ditempat dimana pria brengsek tadi duduk kini ada selembar kertas. Tanpa kusadari kuraih kertas itu. Warnanya kuning kecoklatan, sepertinya sudah sangat tua, ujung- ujungnya bahkan telah keropos seperti bekas terbakar. Seperti terhipnotis, kubuka lipatan kertas itu, ternyata isi dari kertas itu adalah apa yang dikeluhkan pria tadi, emosiku kembali terbakar. Akan tetapi, niatku untuk mencabik- cabik kertas itu kuurungkan setelah tanpa sengaja kubaca tulisan di sudut kanan bawah surat. Sebuah nama yang membuatku sadar siapa pria tadi, Ir. Soekarno.