Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

TEUING~

nah! ini yang aku janjikan di postingan sebelumnya. komik yang kubikin dalam rangka turut serta event keprihatinan terhadap kebun binatang surabaya. tahu kan ada kejadian apa? apa sih, aku mbok dikasih tau ada apa. oh, macan cementel? kok bisa? nah, aku ini kan tipe orang yang akan menendang anak kecil kalau dia nyiksa binatang, walaupun sama  binatangnya sebenernya aku juga jijik. angkylosaurus misalnya. hiek. jadi oleh karena itu aku syemangat ngebikin komik ini. pas malemnya dapet info acara itu, dari twitnya CakWaw yang di retweet sama Amel, dua jam kemudian komiknya jadi. tapi sialnya, aku ngirimnya (tika sih yg ngirim. aku ga nyalahin lho!) mepet di hari terahir pengumpulan karya. yah semoga katut.

 ini ceritanya aku mau bikin macan vs kancil, tapi masalahnya, aku sendiri ndak tau kancil itu bentuknya kayak gimana. kalau kimcil aku tahu. jadi aku ganti karakternya pakai ayam (aku pikir ayam bentuknya kayak gitu. aku lebih sering lihat ayam yang sudah mati soalnya. apalagi yang bulunya dari tepung krispi.) oh iya, itu macan ya, bukan beruang, itu macan. MACAN!

postingan ini disponsori oleh Tikawidy yang sudah bersedia memindai dan mengirimkan komik ini ke panitia #saveKBS lantaran saya seminggu ini sedang atit. makasih tikaaa :*










mau curhat! boleh ndak?! Ndak??!! yaampun

Aku rasa- rasa beberapa postingan terakhir nyaris semua brutal. Cerpen seri Minta_, kartini yang ditukar, puisi- puisi, dan yang lainnya itu. Mungkin kepalaku terlalu liar isinya. Beberapa orang pun setuju. Masih ada beberapa cerpen seri Minta_ yang mau kutulis, banyak ide yang bisa kutuangkan untuk membuat kisah warga sekampung itu. Dengan semua inspirasi itu, aku memutuskan untuk makan jeruk saja. Sambil curhat dikit di postingan ini.

Untuk yang melting dengan tulisan berjudul “kepada wanita yang  bla bla bla” itu (aku lupa gimana judulnya, aku bikinnya kayaknya terlalu rumit, dan internet lagi lambat untuk ngecek. Aku nulis ini di ms Word) sekedar info saja, dia akhirnya menyerah dan sekarang lagi naksir laki- laki lain (entahlah siapa, bahkan aku ga tahu beneran laki- laki atau ga, tapi aku yakin lah). Jadi secara resmi saya jomblo dan tidak sedang dekat dengan siapapun. Ada yang mau saya? Saya jomblo segar lho.

Buat yang nanya aku kenapa ga pernah posting (ada lho yang nanya! Beneran!) alesan simpelnya sih karena aku sibuk. Kau tahu aku sibuk apa? Aku sibuk ngeinget- inget pasword blog ini. Oke, itu bohong. Aku ada beberapa kesibukan baru dan ga nyempetin aku buat nulis.

Kemaren setelah vakum dari dunia kethoprak, aku mencoba tarik suara, jadi vokalis gitu #cyeh! Di band yang gonta- ganti nama dari metafora, lalu apa, apa, apa, apa, dan apa akhirnya terakhir bernama Djeng Poespa (gendJrENGan bareng PemOEda nggeruS Papan Atas), band yang manggung Cuma tiga kali, pas acara jurusan Sastra Indonesia UGM, aku belum gabung pas itu, lalu terus acara Arisan atau apalah itu, lalu terakhir ngikut jamming di Sakai Udon Seturan. Setelah itu akhirnya personilnya mretheli satu- persatu sampai akhirnya vakum. Lalu aku ikut manajemen kecil- kecilan tempat yang bikin acara di Sakai Udon itu, nama Band nya Individual system. Kesangaran menurutku nama itu. Biarlah. Beberapa bulan ngisi akustikan dari kafe ke kafe, akhirnya terakhir aku sama band itu di Xtsquare dan Djendelo cafe, setelah itu aku di pecat :v habis itu masih perform sekali sama mereka ngisi acara MangaFest2013 acaranya Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang UGM. Nyahahaha. (aku masih suka pengen ngeband jane, mbok aku diajaki gitu T.T)

Setelah ini kalau internet yo’i buat upload, aku mau posting komik kedua bikinanku, yang kuikut sertakan ke event #saveKBS , yup. Ini komik kedua, komik pertamaku dibuat bersama pakdhe nova dan sem untuk lomba pekan sejarah nasional. Dan juara papat. Not bad menurutmu? Sayangnya aku a pernah puas kalau ga juara siji. entah mau ku upload atau ga. file nya gede. dan ga murni buatanku sendiri. kupikir nanti saja

Yup. Setelah nyanyik itu, aku sibuk jadi ilustrator sekarang, besok- besok aku kasih tau jadi ilustrator dimana. Postingannya di dhewekke pokoknyah.


Sebenernya ini juga udah mulai males lagi, ga tau kapan nemu mood untuk lanjutin cerpen seri Minta_ itu. Bisa saja nanti, atau aku malah setelah ini ngilang nyaris setahun lagi seperti kemaren. Hanya Tuhan dan paket internet yang menentukan.

Rabu, 22 Januari 2014

Minta Enak




Itu tetanggaku. Si Rahman, dia pendatang. Kemarin lalu lik Dalijo mengamuk, anaknya si Nurul katanya sudah ditiduri olehnya. Kasihan, masih kecil begitu.  Sekarang, aku dan beberapa warga lain tengah menyaksikan dia digelandang oleh polisi, yang ditemani pak RT untuk diselidiki. Bisa- bisanya si Rahman itu. Anak kecil dia berdayai. Tapi hebat, modal receh bisa dapet perawan. Kalau saja aku tidak tinggal di negara hukum, pasti aku sudah ikut- ikutan. Urusan bapaknya yang mengamuk pikir saja belakangan. Kalaupun disuruh tanggung jawab, oh, dengan senang hati. Daripada tak kunjung dapat jodoh begini?
Tapi kupikir zaman benar- benar sudah edan. Kejadian si Rahman ini terjadi belum ada seminggu ketika si Laga, anak tetanggaku yang lumayan tajir, membakar habis rumahnya, dimana sebelumnya dia mengunci orang tuanya di dalam. Aku ingat, pas itu malah aku dan Rahman yang terus memegangi dia sampai akhirnya polisi datang. Aku benar- benar ingat dia berteriak “Mati kalian semua! Mati kalian!”. Mengerikan. Kalau waktu itu tidak ada orang- orang meronda, mungkin kampung kami sudah jadi lautan api.
Huh.. kadang aku iri dengan mereka yang melakukan apa yang mereka mau tanpa berpikir bolak- balik. Sedangkan aku? Mau bilang cinta sama perempuan saja gemetaran, lalu ragu, lalu akhirnya tidak jadi. Bergonta- ganti wanita yang kuincar, selalu saja sama.
Usiaku ini sudah sangat layak untuk menikah, uang pun kalau untuk hidup tidak terlalu mewah aku bisa. Aku bekerja jualan kaus sovenir di Malioboro, lumayan lah. Tiap hari kulihat turis mancanegara maupun dalam negeri yang berlalu lalang mengenakan pakaian yang yahud. Bagaimana aku bisa tahan? Teman sesama pedagang suka cerita dia kalau sedang birahi- birahinya dan lihat yang seperti itu, dia pulang dagang bakal langsung bergerak ke pasar kembang, jajan. Pernah aku dulu diajaknya. Dia tahu aku jua ingin. Tapi begitu sampai dalam, aku hanya menunggui dia di luar bilik, lagi- lagi lantaran aku ragu. Sampai ditertawakan malah.
Ibuku, sudah ngoyak- oyak pengen gendong cucu. Dia bilang aku mau nikah sama siapa saja pasti disetujui, yang penting tidak beda agama. Beliau juga siap untuk mendanai upacara mantenanku nanti. Tapi kembali ke topik awal, sama siapa?
“situ kok ngalamun wae to?”
Tiba- tiba suara seorang laki- laki menyadarkanku. Suara Pak Wiryo. Seorang veteran, yang istrinya buka katering ayam bakar. Aku jadi sadar bahwa kerumunan sudah bubar.
“hehe.. ya maklum pak anak muda.”
“anak muda pie, sudah pantas jadi bapak kamu ini.”
Sialan ini Pak Wiryo. Tau saja aku sedang ngelamunin apa. Padahal jelas- jelas tontonannya mobil polisi begini. Pak Wiryo memang dianggap sesepuh di kampung ini, selain bijaksana, dia juga dipercaya memiliki kesaktian. Banyak orang- orang dari luar kota yang berkunjung ke rumah beliau. Beberapakali malah aku lihat pejabat yang datang. Mungkin dia tadi membaca pikiranku. Yasudah. Sekalian curhat saja.
“nggih.. njenengan kan tau sendiri saya bagaimana pak. Pengennya juga segera menikah, tapi saya itu bisa jadi orang paling meragu nomor 2 di jagat raya ini”
“kok nomor 2, lha nomor 1 ne siapa, le?”
lha apa- apa yang nomor 1 nggih Gusti Allah to pak?”
“wo.. wis tua kok masih suka sembrono.”
“hehehe sepurane pak.”
Fiuh.. untung Pak Wiryo tidak marah aku bercanda seperti it. Jika marah, bisa disihir olehnya ak nanti.
“kamu apa mau tak kasih petunjuk?”
“petunjuk apa pak?”
“yaa.. petunjuk biar kamu itu bisa segera dapat jodoh to yaa”
“mau pak, purun! Saestu!
Ini dia, aku memang daritadi berharap Pak Wiryo berkata begitu. Pasti dengan bantuan beliau, masalahku bisa terpecahkan. Aku bakal segera kawin, enak- enakan, dan ngasih cucu buat simbok. Hehehe
“wis, ngene. Kamu nanti malam datang ke puncak gunung Pule, seorang diri. Bawa rokok kretek, kembang kanthil, dan senter, biar tidak kesandung”
nggih pak, lalu?”
“di gunung itu nanti kita bertemu lagi, kita datangkan ibu peri penunggu gunung itu, kita minta supaya doa- doamu dikabulkan. Kamu siap?”
nggih pak, saya siap!”
ya wis, sekarang kamu pergi siapkan syarat- syaratnya, saya mau pulang untuk meditasi. Wis kono.
nggih pak!”
Yes! Akhirnya jalan bagiku terbuka. Malam nanti masalah- masalahku akan terpecahkan! Malam nanti masalah- masalahku akan sirna! Malam nanti aku bakal enak- enakan!
***
Belum tengah malam. Tapi aku sudah berdiri menunggu Pak Wiryo datang menepati janji. Kuperiksa lagi syarat- syarat yang tadi diminta, rokok, kembang, sudah semua. Aku bahkan membawa tiga bungkus sate ayam. Kenapa tiga, karena selain untukku dan Pak Wiryo, yang satu untuk jaga- jaga, siapa tahu jodohku langsung datang malam ini juga. Ha ha ha. Udara dingin malam ini tidak terasa mengganggu sama sekali. Tiba- tiba sekelebat cahaya menyorot wajahku. Ah, itu berasal dari senter Pak Wiryo. Beliau menepati janji.
“Gung, kamu sudah benar- benar yakin mau menjalani ritual ini?”
sampun, pak.”
“yawis, sekarang kamu pastikan tidak ada orang lain di gunung ini, sementara aku mau semedi dulu. Nanti kalau sudah kamu ku panggil.”
“nggih, pak!”
Aku berjalan menjauhi Pak Wiryo yang mulai melakukan gerakan- gerakan magis. Sambil memeriksa keadaan, aku sesekali melihat Pak Wiryo bergerak seperti orang memanjatkan doa, lalu seperti orang bertarung kungfu. Akhirnya dia memanggil aku. Aku langsung tergopoh- gopoh menghampiri.
“Gung, Ibu Peri menyaratkan bahwa kamu harus mau berhubungan badan dengannya, gung. Apa kamu bersedia, apa kamu sanggup?”
“sa-saya bersedia pak, tapi ba-bagaimana saya bisa melakukannya?”
“ruh ibu peri akan merasuki aku, Gung. Jadi kamu mau tidak mau harus bersetubuh denganku. Aku pun terpaksa...”
Aku tiba- tiba tak bisa berfikir lagi, kata- kata Pak Wiryo tak lagi bisa kudengar, aku harus bagaimana?

Minta Uang

peringatan: bukan cerita anak- anak!



“Bapak? Bapak pernah ketemu peri gigi?”
 tanya anakku kemarin malam, pas aku menidurkannya. Anakku ini, sama ibunya yang sudah mati , dikasih Nurul, memang sedang sering- seringnya nanya- nanya. Kalau kata orang, sudah waktunya dia ku sekolahkan. Mau kusekolahkan di mana? Tak ada taman kanak- kanak yang gratis. Nanti saja, tunggu usianya pas untuk dimasukan ke sekolah dasar. Kata orang- orang, gratis. Tidak sekolah pun biar, aku dulu juga tidak. Masih bisa hidup ini.
Mengenai pertanyaan Nurul itu, setauku Peri itu ya sosok setan perempuan yang sering kudengar waktu aku kecil dulu. Tapi kalau peri gigi? Apa mungkin setan perempuan itu memiliki gigi yang mrongos? Cuma setan saja sudah bikin merinding, masih ditambah giginya maju dan besar- besar begitu. Hiih, aku bergidik.
“peri gigi? Peri gigi apa to?”
Kutanyakan langsung kepada anakku. Tadinya aku mau pura- pura tidak dengar. Tapi anakku ini tampak menunggu aku merespon.
“tadi, pas nurul nonton tivi di rumah lik Man, ada kartun tentang peri gigi. Nurul nontonnya ga sampai selesai, sama lik Man kartunya malah dipindah buat nonton bola.”
Wah, sialan itu si Rahman. Dia biarkan anakku nonton cerita seram. Kalau ini malam anakku tidak bisa tidur nyenyak, kumakan dia. Untuk kalian yang tidak tau, Rahman, atau yang sama anakku dipanggil Lik Man ini adalah pendatang di kampungku. Gak punya istri dia. Sendirian. Datang kemari untuk berjualan ayam goreng Fret Ciken di dekat pasar. Nah si Nurul ini, kubiarkan sering numpang menonton tivi di kamar kosnya. Gak kuat aku kalau disuruh beli sendiri.
“lalu, bagaimana peri gigi itu? Serem? Nurul takut?
“waah, peri gigi gak seram pak! Cantik. Malah baik hati. Dia suka ngasih- ngasih duit!”
“loh? Kok malah ngasih duit?”
“jadi.. di kartunya itu, kalau ada gigi yang lepas, terus sebelum giginya ditaruh di bawah bantal, nanti pas  bangun- bangun, giginya itu jadi duit pak.”
Walah- walah, enak betul ya bisa dapat duit gampang kayak gitu. Malah kayak pesugihan. Jadi peri gigi itu pasti nyulap gigi jadi duit. Biar kutanya saja sama anakku.
“peri giginya nyulap gigi biar jadi duit gitu, Nur?”
Aku salah bertanya begitu. Sekarang anakku tidak jadi mengantuk, pasti mikir film kartun itu.
“endak. Sama peri giginya gigi yang lepas dituker pakai duit receh gitu pak”
Ah Cuma receh ternyata. Aku pikir tadi duitnya segepok. Eh tapi bisa saja recehnya itu banyak. Aku jadi ingin tahu.
“recehnya banyak?”
“Cuma satu...”
Huh, peri kere. Orang Londho pesugihannya gak sakti. Masah setannya Cuma kasih receh, satu thok. Tapi sek, tunggu. Kalau setan Londho duitnya pasti duit Londho juga. Katanya kan duit Londho kalau ditukar jadi duit rupiah, bisa dapat banyak. Kalau satu gigi dikasih satu koin, misal gigiku ini tak bikin lepas semua, anakku bisa tak daftarin ke sekolah ini berarti.
“Nur, itu nek giginya yang lepas dua, recehnya juga dapat dua?”
“Nurul ndak tau pak, tadi yang lepas apalane Cuma satu!”
Wah, berarti tidak menjamin. Bisa- bisa nanti aku sudah ompong, dikasih duitnya cuma satu. Ahh, gawat kalau begitu. Tapi orang Londho itu kan duitnya banyak. Berarti gak mungkin peri pesugihannya kere. Pasti ngasihnya jua banyak. Sudah, tekatku sudah bulat. Besok aku copot semua gigiku. Biar Nurul bisa sekolah. Ini kan pesugihannya orang Londho, tetangga tidak mungkin dirugikan. Pasti beda sama tuyul! Beda sama gendruwo! Ini Peri Gigi, tumbalnya ya gigiku. Nanti kalau kurang, aku bakal cari gigi di tempat lain. Sembarang. Bongkar kuburan nek  perlu. Sudah waktunya aku, sama nurul hidup enak. Sudah semakin malam. Biar kusudahi obrolanku sama Nurul.
“Nur, sudah malam. Tidur ya? Besok bapak kasih receh juga, biar kayak peri gigi kesukaannya Nurul. Ya?”
Ujarku sembari mengusap kening anakku. Dia manis sekali, besarnya pasti cantik. Jika besok aku kaya, lengkaplah sudah.
“mau! Mau! Mau!”
Ujarnya bersemangat. Ah anakku ini.
“bapak, tadi Nurul juga dikasih receh sama Lik Man.”
“lho Lik Man baik sekali, Nurul pasti yang minta duluan?”
Aku memang kere, tapi aku tidak mengajari anakku untuk mengemis. Biar besok kuganti uangnya ke Rahman. Wah, bikin repot Nurul ini.
“enggak pak, tadi Lik Man nyuruh Nurul copot celana, Lik Man juga nyopot, terus tititnya lik man ditempel- tempelin gitu ke Nurul, geli deh pak. Habis itu, nurul dikasih receh sama Lik Man” 

"pak..."

"bapak?"



Minta Bebas



Seorang lelaki mengenakan pakaian laboratorium duduk di depanku, hanya ada meja yang memisahkan kami. Sebuah pakaian aneh dipaksakan untuk ku kenakan. Kau tahu seberapa aneh? Aku tidak bisa menggerakan kedua tanganku dengan baju ini. Kedua tanganku dipaksakan untuk menyilang. Lelaki dihadapanku berbicara dengan sok lembut. Tentu aku tahu dia hanya berpura- pura. Aku tidak peduli dia bicara apa. Lebih tepatnya aku tidak mau mendengarkan. Dia tengah mempengaruhi aku.

Kejadian yang terakhir kali ku ingat, gerombolan zombie menyergapku malam itu. Tepat setelah aku membakar rumahku sendiri, karena di dalamnya ada zombie ayam dan kedua orang tuaku yang sudah terkontaminasi. Gerombolan zombie, alias mayat hidup itu bergerak seakan manusia normal. Kulihat bahkan mereka membawa ember atapun menyemprotkan air dari keran melalu selang. Mereka mau menyelamatkan pimpinan mereka, kalau memang benar ayam itu yang mengawali segalanya. Beberapa zombie memegangiku secara erat, tentu aku memberontak. Kau kira aku masih menyebut Tuhan? Kini tidak lagi. Tak ada pertolonan dari-Nya untukku. Aku benar- benar sendiri. Aku terus meronta- ronta. Aku tidak mau tubuhku diambil alih.

Suara- suara sirine terdengar membuat keadaan semakin bising. Tampak mobil pemadam kebakaran, disusul oleh ambulance, dan lalu, dengan jeda waktu cukup lama, mobil polisi. Aku selamat. Mereka akan segera memberangus zombie- zombie ini dan menyelamatkanku. Terdengar beberapa kali suara ledakan. Pasti berasal dari dapur. Tabung gas untuk konsumsi harian ditempatkan bapakku disana. Ya, oleh bapakku, yang kupikir kematiannya akan bermanfaat untuk keberlangsungan hidup manusia. Tampaknya tindakan heroikku terlambat dilakukan.

Lihat itu, orang- orang berseragam polisi menghampiri. Melepaskan cengkraman- cengkraman zombie dariku. Mereka menggiringku ketempat yang lebih aman. Memasukkan aku ke dalam mobil dinas mereka dan melarikan aku kesuatu tempat. Aku terlalu lelah ntuk melihat para polisi menembaki zombie- zombie itu, padahal sangat ingin. Aku terlalu lelah untuk tahu aku akan dibawa kemana. Semuanya menjadi gelap.
Ketika aku kembali sadar, tanganku terikat borgol. Dan aku basah kuyup. Bukan oleh keringat. Ini air biasa. Aku di dudukkan tepat dihadapan seorang polisi yang tangannya telah siap diatas keyboard mesin ketiknya. Huh, zombie sudah mulai bermunculan dan polisi masih saja kolot. Dia menanyakan pertanyaan- pertanyaan tidak bermutu kepadaku. Aku tahu aku diperlukan sebagai saksi kunci untuk kejadian bangkitnya ayam bakar itu. Tapi aku diam. Aku marah kepada mereka. Saksi tidak seharusnya di borgol.

Sikapku yang diam saja tampaknya malah membuat mereka semakin lupa. Beberapa kali tamparan kuterima, sampai akhirnya aku sadar. Semalam bukan zombie. Tak ada dalam sejarah perfilman zombie memiliki intelegensi. Kalau mereka zombie, aku pasti telah tertular ketika mereka menyergap aku. Mereka pasti robot. Semacam terminator, robot yang menyamar menjadi manusia di film yang dibintangi Arnold schwarzenegger, ataupun terkontaminasi virus nano yang bisa mengoperasi tubuh mereka menjadi mesin, dan di suatu tempat sana, sebuah antena tinggi dengan lampu merah berkedip- kedip dioperasikan untuk mengendalikan manusia- manusia di bumi. Entah oleh ilmuwan gila ataupun ras alien. Itulah sebabnya aku ditahan. Itulah kenapa polisi- polisi ini menganiayaku.

Tapi apa salahku? Kenapa aku menjadi sasaran mereka? Apa pula hebatku? Hingga aku tidak terkontaminasi menjadi makhuk semacam mereka? Mungkin secara tidak sengaja aku menemukan antibodi, atau aku sebenarnya bukan dari planet bumi, seperti Clark Kent, alter ego Superman yang di buku- buku komik itu? Tapi bila memang iya, aku tidak merasa ada kesaktian lebih yang kumiliki. Tamparan robot polisi itu masih terasa sakit. Kini aku diseret kembali ke sebuah ruangan.

Aku tak tahu lagi berapa waktu yang sudah terlewati. Mereka kembali menyeretku ke suatu tempat. Kali ini aku tidak diborgol, melainkan mengenakan pakaian aneh yang sudah kugambarkan di awal. Di situ lah pertama kali aku bertemu pria dengan jubah laboratorium itu. Dia bukan dokter, aku yakin. Tak ada stetoskop tergantung di lehernya. Kenapa harus repot- repot menyeretku untuk menemuinya, pikirku. Toh lebih mudah menyuruhnya datang menghampiriku. Kulihat dia berbicara sesuatu ke salah seorang polisi yang tadi menyeretku, berujun dengan dilepaskannya ikatan di baju aneh ini. Dia mulai menyapa dengan ramah, sedikit pamer tentang betapa baik hatinya dia mengijinkanku dilepaskan dari ikatan. Aku curiga dialah si ilmuwan gila yang membuat virus nano yang membuat semua keadaan segila ini. Lihat saja, nanti ujung- ujungnya dia akan menanyakan antibodi, yang bahkan aku sendiri tidak tau tahu yang seperti apa. Bisa saja aku menjelaskan ini kesalah pahaman. Tapi percuma, begitu mereka tahu aku tidak memilikinya, aku akan dibunuh.
Aku melompat dari kursiku menerkam si ilmuwan gila. Aku menjambak rambutnya dan menggigit tubuhnya yang bisa kuraih. Empuk. Kupikir akan sekeras metal. Tampaknya dia sendiri belum mengoperasi tubuhnya. Ini kesempatan untukku. Dua polisi penjaga menghampiriku dari belakan berusaha menyergap. Aku sudah membaca gerakan mereka. Aku menghindar. Berhasil. Kulihat polisi kedua berusa mengeluarkan pistolnya. Sebisaku aku merebutnya. Dari perebutan itu, tampaknya pelatuknya tak sengaja tertarik dan selongsong peluru keluar dari corongnya. Disertai suara letupan. Suara polisi pertama terdengar. Dia berteriak. Polisi itu pasti terkena peluru tadi. Aku tidak bisa memastikan. Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah merebut pistol ini.

Sukses. Polisi itu lengah dan aku menendang kelaminnya. Pistol kudapatkan. Aku segera berlari kearah pintu. Suara letupan tadi pasti akan memancing robot- robot polisi yang lain untuk menyergapku. Di lorong tempatku berusaha keluar, tampak segerombolan polisi yang bergerak cepat. Mereka bersiap menghentikanku. Aku sembunyikan pistol itu dibalik punggungku. Selama mereka pikir aku tidak bersenjata, mereka tidak akan menembakku. Perlahan kuhampiri mereka. Begitu dekat, dua tarikan peluru kuluncurkan. Bull’s eye! Tepat menenai kepala dan dada dua orang petugas. Aku segera berlari melewati mereka dan kini aku di jalan raya. Masih ada beberapa polisi lagi yang mengejar. Kini mereka mengeluarkan tembakan peringatan. Aku pasti benar- benar berharga bagi eksperimen mereka. Mereka tidak langsung membunuhku.

Ak berlari menerobos gerombolan manusia robot yang tampak mengenakan pakaian anak SD. Hatiku mencelos mengetahui bahwa ilmuwan gila tak peduli bahwa mereka masih kecil. Gerombolan itu menatapku,melotot. Astaga, pasti dari mata robot-robot cilik ini akan terpancar sinar laser. Kutembakan sebutir peluru lagi tepat kesalah satu mata robot yang paling dekat. Terdengar jeritan dimana- mana. Pasti suara letupan dari pistolku telah merusak sirkuit mereka. Membuat sistem robot- robot lain di jalanan mengalami malfungsi, sehingga membuat mereka menjerit berhamburan. Aku tidak tahu masih ada berapa peluru yang tersisa. Ditengah kekacauan seperti ini, ditengah kepungan manusia robot seperti ini akhirnya aku tahu. Apapun yang mereka incar dariku. Kesadaranku diperlukan. Aku tidak akan bisa bebas. Jika matiku dapat menghentikan kejahatan mereka. Akan kulakukan. Laipula aku masih punya apa? Kuarahkan ujung pistol ke pelipisku. Kutarik pelatuknya. klik.