Malam
itu, 2 juli 2015 memasuki hari berikutnya, suara dekuran merpati sayup- sayup
terdengar dari balik tembok penyekat antara ruangan pemilik rumah dengan
ruangan yang kutempati untuk tidur bersama dengan 7 lelaki lain. Berdelapan,
kami adalah bagian dari 30 pendatang
yang kebetulan harus dipisah tempat tinggalnya karena bukan perempuan.
Girirejo
adalah nama tempat itu. Sebuah desa bagian dari Imogiri, Bantul yang masih
dibagi menjadi 5 dusun lagi. Di tanah itulah, selama 120 kali putaran jam
dinding kami dilepas guna memperlihatkan seberapa jauh ilmu yang kami pelajari
bertahun- tahun di tempat kami berguru berguna bagi masyarakat, sebagaimana
kata W.S Rendra, “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu
kedokteran, atau apa saja, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : di
sini aku merasa asing dan sepi.”
Berbagai
usaha kami lakukan guna melihat senyum penduduk setempat, kami menyediakan
media bercocok tanam, kami mengajarkan bahasa asing, kami memperkenalkan
binatang liar, hingga kami bergerak pergi bersama menuju ke luar kota guna
bergembira ketika belajar bersama.
Lalu
apakah kami lebih ahli dari mereka?
Pengalaman
adalah guru terbaik, dan kami membuktikannya. Banyak dari kegiatan kami justru
berhasil ketika campur tangan penduduk setempat bersambut. Menyediakan tenaga
dan bantuan material sehingga semua terlaksana. Ada kehangatan dari tangan-
tangan itu, kehangatan yang mungkin lama tidak dirasakan oleh kami yang sekian
waktu terlalu menuntut ilmu.
Malam
itu, 29 agustus 2015 memasuki hari berikutnya, suara dekuran merpati sayup-
sayup terdengar dari balik tembok penyekat antara ruangan pemilik rumah dengan
ruangan yang kutempati untuk tidur bersama dengan 7 lelaki lain. Suara dekuran
yang sama dengan yang kudengar pada malam pertama. Bila aku boleh berprasangka,
burung itu ingin menyampaikan,
“selamat
datang” dan “jangan pergi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar