Itu
tetanggaku. Si Rahman, dia pendatang. Kemarin lalu lik Dalijo mengamuk, anaknya si Nurul katanya sudah ditiduri olehnya. Kasihan, masih kecil begitu. Sekarang, aku dan beberapa warga lain tengah menyaksikan dia digelandang oleh polisi,
yang ditemani pak RT untuk diselidiki. Bisa- bisanya si Rahman itu. Anak kecil
dia berdayai. Tapi hebat, modal receh bisa dapet perawan. Kalau saja aku tidak
tinggal di negara hukum, pasti aku sudah ikut- ikutan. Urusan bapaknya yang
mengamuk pikir saja belakangan. Kalaupun disuruh tanggung jawab, oh, dengan
senang hati. Daripada tak kunjung dapat jodoh begini?
Tapi
kupikir zaman benar- benar sudah edan. Kejadian si Rahman ini terjadi belum ada
seminggu ketika si Laga, anak tetanggaku yang lumayan tajir, membakar habis
rumahnya, dimana sebelumnya dia mengunci orang tuanya di dalam. Aku ingat, pas
itu malah aku dan Rahman yang terus memegangi dia sampai akhirnya polisi
datang. Aku benar- benar ingat dia berteriak “Mati kalian semua! Mati kalian!”. Mengerikan. Kalau waktu itu tidak ada orang- orang meronda, mungkin kampung
kami sudah jadi lautan api.
Huh..
kadang aku iri dengan mereka yang melakukan apa yang mereka mau tanpa berpikir
bolak- balik. Sedangkan aku? Mau bilang cinta sama perempuan saja gemetaran,
lalu ragu, lalu akhirnya tidak jadi. Bergonta- ganti wanita yang kuincar,
selalu saja sama.
Usiaku
ini sudah sangat layak untuk menikah, uang pun kalau untuk hidup tidak terlalu
mewah aku bisa. Aku bekerja jualan kaus sovenir di Malioboro, lumayan lah. Tiap
hari kulihat turis mancanegara maupun dalam negeri yang berlalu lalang
mengenakan pakaian yang yahud. Bagaimana aku bisa tahan? Teman sesama pedagang
suka cerita dia kalau sedang birahi- birahinya dan lihat yang seperti itu, dia
pulang dagang bakal langsung bergerak ke pasar kembang, jajan. Pernah aku dulu
diajaknya. Dia tahu aku jua ingin. Tapi begitu sampai dalam, aku hanya
menunggui dia di luar bilik, lagi- lagi lantaran aku ragu. Sampai ditertawakan malah.
Ibuku,
sudah ngoyak- oyak pengen gendong
cucu. Dia bilang aku mau nikah sama siapa saja pasti disetujui, yang penting
tidak beda agama. Beliau juga siap untuk mendanai upacara mantenanku nanti. Tapi kembali ke topik awal, sama siapa?
“situ
kok ngalamun wae to?”
Tiba-
tiba suara seorang laki- laki menyadarkanku. Suara Pak Wiryo. Seorang veteran,
yang istrinya buka katering ayam bakar. Aku jadi sadar bahwa kerumunan sudah
bubar.
“hehe..
ya maklum pak anak muda.”
“anak
muda pie, sudah pantas jadi bapak
kamu ini.”
Sialan
ini Pak Wiryo. Tau saja aku sedang ngelamunin
apa. Padahal jelas- jelas tontonannya mobil polisi begini. Pak Wiryo memang
dianggap sesepuh di kampung ini, selain bijaksana, dia juga dipercaya memiliki
kesaktian. Banyak orang- orang dari luar kota yang berkunjung ke rumah beliau. Beberapakali
malah aku lihat pejabat yang datang. Mungkin dia tadi membaca pikiranku. Yasudah.
Sekalian curhat saja.
“nggih..
njenengan kan tau sendiri saya
bagaimana pak. Pengennya juga segera menikah, tapi saya itu bisa jadi orang
paling meragu nomor 2 di jagat raya ini”
“kok
nomor 2, lha nomor 1 ne siapa, le?”
“lha apa- apa yang nomor 1 nggih Gusti Allah to pak?”
“wo..
wis tua kok masih suka sembrono.”
“hehehe
sepurane pak.”
Fiuh..
untung Pak Wiryo tidak marah aku bercanda seperti it. Jika marah, bisa disihir
olehnya ak nanti.
“kamu
apa mau tak kasih petunjuk?”
“petunjuk
apa pak?”
“yaa..
petunjuk biar kamu itu bisa segera dapat jodoh to yaa”
“mau
pak, purun! Saestu!”
Ini
dia, aku memang daritadi berharap Pak Wiryo berkata begitu. Pasti dengan
bantuan beliau, masalahku bisa terpecahkan. Aku bakal segera kawin, enak-
enakan, dan ngasih cucu buat simbok. Hehehe
“wis,
ngene. Kamu nanti malam datang ke puncak gunung Pule, seorang diri. Bawa rokok
kretek, kembang kanthil, dan senter, biar tidak kesandung”
“nggih pak, lalu?”
“di
gunung itu nanti kita bertemu lagi, kita datangkan ibu peri penunggu gunung
itu, kita minta supaya doa- doamu dikabulkan. Kamu siap?”
“nggih pak, saya siap!”
“ya wis, sekarang kamu pergi siapkan
syarat- syaratnya, saya mau pulang untuk meditasi. Wis kono.”
“nggih pak!”
Yes!
Akhirnya jalan bagiku terbuka. Malam nanti masalah- masalahku akan terpecahkan!
Malam nanti masalah- masalahku akan sirna! Malam nanti aku bakal enak- enakan!
***
Belum
tengah malam. Tapi aku sudah berdiri menunggu Pak Wiryo datang menepati janji. Kuperiksa
lagi syarat- syarat yang tadi diminta, rokok, kembang, sudah semua. Aku bahkan
membawa tiga bungkus sate ayam. Kenapa tiga, karena selain untukku dan Pak
Wiryo, yang satu untuk jaga- jaga, siapa tahu jodohku langsung datang malam ini
juga. Ha ha ha. Udara dingin malam ini tidak terasa mengganggu sama sekali. Tiba-
tiba sekelebat cahaya menyorot wajahku. Ah, itu berasal dari senter Pak Wiryo. Beliau
menepati janji.
“Gung,
kamu sudah benar- benar yakin mau menjalani ritual ini?”
“sampun, pak.”
“yawis,
sekarang kamu pastikan tidak ada orang lain di gunung ini, sementara aku mau semedi dulu. Nanti kalau sudah kamu ku
panggil.”
“nggih,
pak!”
Aku
berjalan menjauhi Pak Wiryo yang mulai melakukan gerakan- gerakan magis. Sambil
memeriksa keadaan, aku sesekali melihat Pak Wiryo bergerak seperti orang
memanjatkan doa, lalu seperti orang bertarung kungfu. Akhirnya dia memanggil
aku. Aku langsung tergopoh- gopoh menghampiri.
“Gung,
Ibu Peri menyaratkan bahwa kamu harus mau berhubungan badan dengannya, gung. Apa
kamu bersedia, apa kamu sanggup?”
“sa-saya
bersedia pak, tapi ba-bagaimana saya bisa melakukannya?”
“ruh
ibu peri akan merasuki aku, Gung. Jadi kamu mau tidak mau harus bersetubuh
denganku. Aku pun terpaksa...”
Aku
tiba- tiba tak bisa berfikir lagi, kata- kata Pak Wiryo tak lagi bisa kudengar,
aku harus bagaimana?