Total Tayangan Halaman

Selasa, 21 Januari 2014

Minta Hidup

Kalau kau pikir malam ini senormal malam- malam yang normal, kau salah bung. Langit memang cerah dan tak setetespun air turun dari langit. Bulan pun tampak menganga tanpa tertutup siluet awan. Tapi kuberitahu kau sekali lagi. Malam ini lebih kelam daripada seharusnya.
Sore tadi bapakku pulang dari sebuah acara pertemuan dengan guru- guru dan dewan sekolah tempatnya mencari duit. Dicangkingnya sebuah kotak dan diikat dengan tali rafia, untukku. Terbaca di bungkusnya “Ayam Bakar Bu Wiryo”. Tentu kau bisa menebak isinya apa, aku pun begitu. Karena itu aku tidak punya rasa penasaran ntuk memastikan apakah di dalamnya betul- betul ayam yang dipotong dan dibakar oleh bu wiryo, atau asistennya, atau suaminya, atau jangan- jangan itu bukan ayam bakar teteapi goreng. Aku tidak tahu, dan sama sekali tidak peduli. Pokonya kotak itu tampak normal.
Kalau saja aku tidak dipanggil untuk pergi ke kedai kopi di dekat Malioboro oleh teman- temanku untuk bermain kartu, aku akan sesegera mungkin membuka kotak itu, memastikan di dalamnya makanan, dan menyantapnya. Huh, terpaksa aku memasukannya ke dalam kulkas. Biar kuhangatkan nanti sepulang dari pertandingan ini. Hingga saat aku tengah mengacak kartu untuk kesekian kalinya karena aku kalah, aku belum mendapat firasat apapun. Bahkan ketika di tepi jalan, di depan apotek seberang kedai tempatku menahan malu karena kalah ada kecelakaan tunggal, aku tidak menganggap itu sebagai peringatan dari tuhan. Semua masih tampak normal bahkan dalam perjalananku pulang.
Setibanya aku di rumah, dan melakukan rutinitasku memasukan kendaraan dan mengunci pintu dan mencuci kaki, aku menuju kamarku untuk segera pergi tidur. Biasanya memang susah untuk tidur, aku ini penderita insomnia, tapi malam ini, perasaanku seperti terganjal oleh susuatu. Sesuatu yang harus segera ku kerjakan, sesuatu yang tadi sempat kujanjikan dalam hati ntuk kulakukan.
Terseok- seok, aku memaksakan tubuhku yang tengah bermanja- manja dengan ranjang untuk kembali berdiri. Kembali beraktifitas. Sembari mengingat apa yang harus kulakukan. Aku memeriksa satu persatu pintu rumah dan jendela, siapa tahu belum terkunci. Nyatanya sudah. Aku menuju ke dapur, mau menengok kompor, siapa tahu keluaraku lupa mematikan apinya. Nyatanya sudah. Tetapi menatap meja makan, akhirnya aku sadar apa yang telah terjadi.
Tampak sebuah kotak yang telah lepas beberapa straplessnya hingga bentuknya nyaris tidak dikenali, didalamnya tampak plastik kecil berisi sambal yang tampang sobek dan isinya belepotan di luar, daun- daun lalapan pun tampak berserakan. Tak tampak adanya nasi maupun lauk. Disini perasaanku sudah menjadi- jadi. Perlahan, kubuka cover kardus itu. Dugaanku benar; tertulis dengan font norak, “Ayam Bakar Bu Wiryo”. Dengan panik aku menuju kulkas dan dengan serampangan membuka pintunya. Hilang. Kotak makanan dari ayahku tidak ada di kulkas. Dan aku yakin kotak remuk di meja makan itu adalah milikku. kau tahu apa yang kupikirkan. Semua orang pasti berpikiran sama denganku.
Ayam bakar di dalam kotak itu telah hidup kembali.
Ayam bakar di dalam kotak itu telah hidup kembali. Menyeret kotak, yang mungkin sekarang lebih tepat kalau kusebut itu peti matinya, keluar dari kulkas, mengacak- acak sambal dan lalapannya, dan memakan nasi yang menyertainya. Itu sudah menjadi naluri ayam. Tak terkecuali ayam yang dibakar namun hidup kembali!
Semula aku berpikir, ah sudahlah. Relakan saja. Toh aku tidak terlalu lapar. Namun aku kembali diingatkan oleh tuhan dengan firasat- firasat yang menghantam. INI AYAM YANG KEMBALI HIDUP BUNG! KAU TAK PERNAH MENONTON FILM ZOMBIE DI TELEVISI?!Hawa dingin menyeruak ke sekujur tubuhku. Satu- persatu kesadaranku mengumpulkan ingatan- ingatan sejak sore tadi.
Kotak berisi ayam bakar yang kumasukkan ke dalam kulkas, ayam itu pasti berhasil mendinginkan luka- luka bakarnya sehingga dia mampu menyeret kotak itu keluar dari kulkas.
Kotak yang bentuknya sudah berantakan. Ayam itu pasti memiliki daya kanuragan yang sudah pasti over power sehingga mampu merusak kotak yang menyegelnya dari dalam.
Nasi yang dimakan oleh ayam itu, ayam itu pasti kelaparan dan kelelahan setelah menjebol kotak itu, dan berusaha mengumpulkan tenaga kembali.
Sambal dan lalapan yang berantakan. Oh Tuhan, ini pasti luapan kemarahan ayam itu. Dan fakta terakhir, yang membuat hatiku benar- benar mencelos.
Semua pintu dan jendela yang tadi kuperiksa masih terkunci dengan rapi.
Oh Tuhan, Oh Tuhanku, ayam marah, ayam yang bangkit dari kematiannya itu masih berkeliaran di dalam rumah!
Dengan sangat perlahan aku mengarahkan sebisa mungkin mataku untuk melihat ke belakang, tanpa menggerakan kepala. Aku takut ayam zombie itu tahu aku telah menyadari eksistensinya. Sepertinya aman, tak ada ayam dengan badan gosong berdiri di belakangku sambil menghunuskan paruhnya yang mungkin kini penuh lendir, bakteri, dan sisa nasi, serta biji cabai dari sambal.
Ketakutanku semakin menyeruak. Ayam itu pasti tidak sebodoh zombie- zombie di film yang bergerak lambat hanya untuk makan. Ayam itu pasti memiliki intelegensi tinggi, sehingga dia memilih saat- saat dimana aku lengah. Dengan panik dan nafas memburu, aku bergerak serampangan memlihat ke setiap sudut dapur, memastikan tempat- tempat yang bisa digunakan ayam itu untuk bersembunyi. Tak tampak. Aku berlari meninggalkan dapur, meraih tongkat pramuka untuk pertahanan. Kubuka kamar tidur orangtua ku. Mereka terpejam tak bergerak, oh tuhan, mungkinkah? Aku bahkan tak memiliki tenaga untuk memastikan apakah masih ada nafas dari mereka. Tiba- tiba tubuh bapakku menggulingkan diri. Secepat kilat aku meraih kunci, menutup pintu dan mengunci ruangan itu. Bapak- ibuku telah tertular dan menjadi zombie! Benar- benar seperti di film!
Suara gedoran dari dalam terdengar. Namaku disebut- sebut oleh suara yang kukenali sebagai suara bapakku. Oh tuhan, mereka menginginginkan aku. Menahan air mata dan menguatkan hati aku mencoba berfikir. Kenapa ayam itu meneror keluargaku? Apakah ayam itu mengira aku yang telah membunuhnya, dan akan menuntut balas?
Bagaimana aku bisa menjelaskan ke ayam itu bahwa keluargaku tidak bersalah, hanya mendapat bingkisan dari sebuah pertemuan, bahwa Bu Wiryo dan kru nya yang bertanggungjawab sepenuhnya atas siksa tubuh yang dialami ayam itu? Atau biar ku rayu ayam itu dengan janji- janji akan mengenalkannya kepada ayam- ayam kampus di tempatku kuliah? bodoh. aku ini kan mahasiswa, aku seharusnya tahu ayam yang menuntut balas tidak akan mau di rayu. Lagipula ayam itu apa paham dengan bahasa manusia?
Suara gedoran semakin menjadi- jadi, terdengar teriakan- teriakan marah. Kini suara ibuku pun turut terdengar. Bapak.. ibu.. maafkan aku yang tak sempat menyelamatkan kalian.
Aku harus mengahiri ini semua. Kuraih korek dan bensin yang tersimpan di garasi. Aku keluar rumah, menuangkan bensin ke sekujur rumah, dan menyalakan api. Zombie- zombie itu harus musnah. Api menjalar melalap rumahku. Aku kehilangan banyak. Bapak, ibu, rumah mereka. Tetapi kupikir ini harga yang harus kubayar untuk keberlangsungan umat manusia.
Suara- suara jeritan kesakitan terdengar dari dalam. Aku pikir aku telah menang. Tiba- tiba sara riuh gaduh terdengar. Siluet- seluet membentuk tubuh manusia bergerak tergopoh- gopoh  menghampiri rumahku. Oh tuhan. Semua orang telah menjadi zombie, mereka mengepungku. Oh Tuhan.. oh Tuhan.. oh Tuhanku..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar