Kalau
kau pikir malam ini senormal malam- malam yang normal, kau salah bung. Langit memang
cerah dan tak setetespun air turun dari langit. Bulan pun tampak menganga tanpa
tertutup siluet awan. Tapi kuberitahu kau sekali lagi. Malam ini lebih kelam
daripada seharusnya.
Sore
tadi bapakku pulang dari sebuah acara pertemuan dengan guru- guru dan dewan
sekolah tempatnya mencari duit. Dicangkingnya sebuah kotak dan diikat dengan
tali rafia, untukku. Terbaca di bungkusnya “Ayam Bakar Bu Wiryo”. Tentu kau
bisa menebak isinya apa, aku pun begitu. Karena itu aku tidak punya rasa
penasaran ntuk memastikan apakah di dalamnya betul- betul ayam yang dipotong
dan dibakar oleh bu wiryo, atau asistennya, atau suaminya, atau jangan- jangan
itu bukan ayam bakar teteapi goreng. Aku tidak tahu, dan sama sekali tidak
peduli. Pokonya kotak itu tampak normal.
Kalau
saja aku tidak dipanggil untuk pergi ke kedai kopi di dekat Malioboro oleh
teman- temanku untuk bermain kartu, aku akan sesegera mungkin membuka kotak
itu, memastikan di dalamnya makanan, dan menyantapnya. Huh, terpaksa aku
memasukannya ke dalam kulkas. Biar kuhangatkan nanti sepulang dari pertandingan
ini. Hingga saat aku tengah mengacak kartu untuk kesekian kalinya karena aku
kalah, aku belum mendapat firasat apapun. Bahkan ketika di tepi jalan, di depan
apotek seberang kedai tempatku menahan malu karena kalah ada kecelakaan
tunggal, aku tidak menganggap itu sebagai peringatan dari tuhan. Semua masih
tampak normal bahkan dalam perjalananku pulang.
Setibanya
aku di rumah, dan melakukan rutinitasku memasukan kendaraan dan mengunci pintu
dan mencuci kaki, aku menuju kamarku untuk segera pergi tidur. Biasanya memang
susah untuk tidur, aku ini penderita insomnia, tapi malam ini, perasaanku
seperti terganjal oleh susuatu. Sesuatu yang harus segera ku kerjakan, sesuatu
yang tadi sempat kujanjikan dalam hati ntuk kulakukan.
Terseok-
seok, aku memaksakan tubuhku yang tengah bermanja- manja dengan ranjang untuk
kembali berdiri. Kembali beraktifitas. Sembari mengingat apa yang harus
kulakukan. Aku memeriksa satu persatu pintu rumah dan jendela, siapa tahu belum
terkunci. Nyatanya sudah. Aku menuju ke dapur, mau menengok kompor, siapa tahu
keluaraku lupa mematikan apinya. Nyatanya sudah. Tetapi menatap meja makan,
akhirnya aku sadar apa yang telah terjadi.
Tampak
sebuah kotak yang telah lepas beberapa straplessnya hingga bentuknya nyaris
tidak dikenali, didalamnya tampak plastik kecil berisi sambal yang tampang
sobek dan isinya belepotan di luar, daun- daun lalapan pun tampak berserakan. Tak
tampak adanya nasi maupun lauk. Disini perasaanku sudah menjadi- jadi. Perlahan,
kubuka cover kardus itu. Dugaanku benar; tertulis dengan font norak, “Ayam
Bakar Bu Wiryo”. Dengan panik aku menuju kulkas dan dengan serampangan membuka
pintunya. Hilang. Kotak makanan dari ayahku tidak ada di kulkas. Dan aku yakin
kotak remuk di meja makan itu adalah milikku. kau tahu apa yang kupikirkan. Semua
orang pasti berpikiran sama denganku.
Ayam bakar di dalam kotak itu telah hidup kembali.
Ayam
bakar di dalam kotak itu telah hidup kembali. Menyeret kotak, yang mungkin
sekarang lebih tepat kalau kusebut itu peti matinya, keluar dari kulkas,
mengacak- acak sambal dan lalapannya, dan memakan nasi yang menyertainya. Itu sudah
menjadi naluri ayam. Tak terkecuali ayam yang dibakar namun hidup kembali!
Semula
aku berpikir, ah sudahlah. Relakan saja. Toh aku tidak terlalu lapar. Namun aku
kembali diingatkan oleh tuhan dengan firasat- firasat yang menghantam. INI AYAM
YANG KEMBALI HIDUP BUNG! KAU TAK PERNAH MENONTON FILM ZOMBIE DI TELEVISI?!Hawa dingin
menyeruak ke sekujur tubuhku. Satu- persatu kesadaranku mengumpulkan ingatan-
ingatan sejak sore tadi.
Kotak berisi ayam bakar yang
kumasukkan ke dalam kulkas, ayam itu pasti berhasil mendinginkan luka- luka
bakarnya sehingga dia mampu menyeret kotak itu keluar dari kulkas.
Kotak yang bentuknya sudah
berantakan. Ayam itu pasti memiliki daya kanuragan yang sudah pasti over power
sehingga mampu merusak kotak yang menyegelnya dari dalam.
Nasi yang dimakan oleh ayam itu,
ayam itu pasti kelaparan dan kelelahan setelah menjebol kotak itu, dan berusaha
mengumpulkan tenaga kembali.
Sambal dan lalapan yang berantakan.
Oh Tuhan, ini pasti luapan kemarahan ayam itu. Dan fakta terakhir, yang membuat
hatiku benar- benar mencelos.
Semua pintu dan jendela yang tadi
kuperiksa masih terkunci dengan rapi.
Oh Tuhan, Oh Tuhanku, ayam marah,
ayam yang bangkit dari kematiannya itu masih berkeliaran di dalam rumah!
Dengan sangat perlahan aku mengarahkan
sebisa mungkin mataku untuk melihat ke belakang, tanpa menggerakan kepala. Aku takut
ayam zombie itu tahu aku telah menyadari eksistensinya. Sepertinya aman, tak
ada ayam dengan badan gosong berdiri di belakangku sambil menghunuskan paruhnya
yang mungkin kini penuh lendir, bakteri, dan sisa nasi, serta biji cabai dari
sambal.
Ketakutanku semakin menyeruak. Ayam itu
pasti tidak sebodoh zombie- zombie di film yang bergerak lambat hanya untuk
makan. Ayam itu pasti memiliki intelegensi tinggi, sehingga dia memilih saat-
saat dimana aku lengah. Dengan panik dan nafas memburu, aku bergerak
serampangan memlihat ke setiap sudut dapur, memastikan tempat- tempat yang bisa
digunakan ayam itu untuk bersembunyi. Tak tampak. Aku berlari meninggalkan
dapur, meraih tongkat pramuka untuk pertahanan. Kubuka kamar tidur orangtua ku.
Mereka terpejam tak bergerak, oh tuhan, mungkinkah? Aku bahkan tak memiliki
tenaga untuk memastikan apakah masih ada nafas dari mereka. Tiba- tiba tubuh
bapakku menggulingkan diri. Secepat kilat aku meraih kunci, menutup pintu dan
mengunci ruangan itu. Bapak- ibuku telah tertular dan menjadi zombie! Benar-
benar seperti di film!
Suara gedoran dari dalam terdengar. Namaku
disebut- sebut oleh suara yang kukenali sebagai suara bapakku. Oh tuhan, mereka
menginginginkan aku. Menahan air mata dan menguatkan hati aku mencoba berfikir.
Kenapa ayam itu meneror keluargaku? Apakah ayam itu mengira aku yang telah
membunuhnya, dan akan menuntut balas?
Bagaimana aku bisa menjelaskan ke ayam
itu bahwa keluargaku tidak bersalah, hanya mendapat bingkisan dari sebuah
pertemuan, bahwa Bu Wiryo dan kru nya yang bertanggungjawab sepenuhnya atas
siksa tubuh yang dialami ayam itu? Atau biar ku rayu ayam itu dengan janji-
janji akan mengenalkannya kepada ayam- ayam kampus di tempatku kuliah? bodoh.
aku ini kan mahasiswa, aku seharusnya tahu ayam yang menuntut balas tidak akan
mau di rayu. Lagipula ayam itu apa paham dengan bahasa manusia?
Suara gedoran semakin menjadi- jadi,
terdengar teriakan- teriakan marah. Kini suara ibuku pun turut terdengar. Bapak..
ibu.. maafkan aku yang tak sempat menyelamatkan kalian.
Aku harus mengahiri ini semua. Kuraih korek
dan bensin yang tersimpan di garasi. Aku keluar rumah, menuangkan bensin ke
sekujur rumah, dan menyalakan api. Zombie- zombie itu harus musnah. Api menjalar
melalap rumahku. Aku kehilangan banyak. Bapak, ibu, rumah mereka. Tetapi kupikir
ini harga yang harus kubayar untuk keberlangsungan umat manusia.
Suara- suara jeritan kesakitan terdengar
dari dalam. Aku pikir aku telah menang. Tiba- tiba sara riuh gaduh terdengar. Siluet-
seluet membentuk tubuh manusia bergerak tergopoh- gopoh menghampiri rumahku. Oh tuhan. Semua orang
telah menjadi zombie, mereka mengepungku. Oh Tuhan.. oh Tuhan.. oh Tuhanku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar