Seorang
lelaki mengenakan pakaian laboratorium duduk di depanku, hanya ada meja yang
memisahkan kami. Sebuah pakaian aneh dipaksakan untuk ku kenakan. Kau tahu
seberapa aneh? Aku tidak bisa menggerakan kedua tanganku dengan baju ini. Kedua tanganku
dipaksakan untuk menyilang. Lelaki dihadapanku berbicara dengan sok lembut. Tentu
aku tahu dia hanya berpura- pura. Aku tidak peduli dia bicara apa. Lebih tepatnya
aku tidak mau mendengarkan. Dia tengah mempengaruhi aku.
Kejadian
yang terakhir kali ku ingat, gerombolan zombie menyergapku malam itu. Tepat setelah
aku membakar rumahku sendiri, karena di dalamnya ada zombie ayam dan kedua orang
tuaku yang sudah terkontaminasi. Gerombolan zombie, alias mayat hidup itu bergerak seakan manusia
normal. Kulihat bahkan mereka membawa ember atapun menyemprotkan air dari keran
melalu selang. Mereka mau menyelamatkan pimpinan mereka, kalau memang benar
ayam itu yang mengawali segalanya. Beberapa zombie memegangiku secara erat,
tentu aku memberontak. Kau kira aku masih menyebut Tuhan? Kini tidak lagi. Tak ada
pertolonan dari-Nya untukku. Aku benar- benar sendiri. Aku terus meronta-
ronta. Aku tidak mau tubuhku diambil alih.
Suara- suara sirine terdengar membuat keadaan semakin bising. Tampak mobil pemadam kebakaran, disusul oleh ambulance, dan lalu, dengan jeda waktu cukup lama, mobil polisi. Aku selamat. Mereka akan segera memberangus zombie- zombie ini dan menyelamatkanku. Terdengar beberapa kali suara ledakan. Pasti berasal dari dapur. Tabung gas untuk konsumsi harian ditempatkan bapakku disana. Ya, oleh bapakku, yang kupikir kematiannya akan bermanfaat untuk keberlangsungan hidup manusia. Tampaknya tindakan heroikku terlambat dilakukan.
Lihat
itu, orang- orang berseragam polisi menghampiri. Melepaskan cengkraman-
cengkraman zombie dariku. Mereka menggiringku ketempat yang lebih aman. Memasukkan
aku ke dalam mobil dinas mereka dan melarikan aku kesuatu tempat. Aku terlalu lelah ntuk melihat para polisi menembaki zombie- zombie itu, padahal sangat ingin. Aku terlalu
lelah untuk tahu aku akan dibawa kemana. Semuanya menjadi gelap.
Ketika
aku kembali sadar, tanganku terikat borgol. Dan aku basah kuyup. Bukan oleh
keringat. Ini air biasa. Aku di dudukkan tepat dihadapan seorang polisi yang
tangannya telah siap diatas keyboard mesin ketiknya. Huh, zombie sudah mulai
bermunculan dan polisi masih saja kolot. Dia menanyakan pertanyaan- pertanyaan
tidak bermutu kepadaku. Aku tahu aku diperlukan sebagai saksi kunci untuk kejadian
bangkitnya ayam bakar itu. Tapi aku diam. Aku marah kepada mereka. Saksi tidak
seharusnya di borgol.
Sikapku
yang diam saja tampaknya malah membuat mereka semakin lupa. Beberapa kali
tamparan kuterima, sampai akhirnya aku sadar. Semalam bukan zombie. Tak ada
dalam sejarah perfilman zombie memiliki intelegensi. Kalau mereka zombie, aku
pasti telah tertular ketika mereka menyergap aku. Mereka pasti robot. Semacam terminator, robot yang menyamar menjadi manusia di film yang dibintangi Arnold schwarzenegger, ataupun terkontaminasi virus nano yang bisa mengoperasi tubuh mereka menjadi mesin,
dan di suatu tempat sana, sebuah antena tinggi dengan lampu merah berkedip- kedip dioperasikan untuk mengendalikan
manusia- manusia di bumi. Entah oleh ilmuwan gila ataupun ras alien. Itulah sebabnya
aku ditahan. Itulah kenapa polisi- polisi ini menganiayaku.
Tapi
apa salahku? Kenapa aku menjadi sasaran mereka? Apa pula hebatku? Hingga aku
tidak terkontaminasi menjadi makhuk semacam mereka? Mungkin secara tidak
sengaja aku menemukan antibodi, atau aku sebenarnya bukan dari planet bumi,
seperti Clark Kent, alter ego Superman yang di buku- buku komik itu? Tapi bila memang iya, aku tidak merasa ada kesaktian lebih
yang kumiliki. Tamparan robot polisi itu masih terasa sakit. Kini aku diseret
kembali ke sebuah ruangan.
Aku
tak tahu lagi berapa waktu yang sudah terlewati. Mereka kembali menyeretku ke
suatu tempat. Kali ini aku tidak diborgol, melainkan mengenakan pakaian aneh
yang sudah kugambarkan di awal. Di situ lah pertama kali aku bertemu pria dengan
jubah laboratorium itu. Dia bukan dokter, aku yakin. Tak ada stetoskop
tergantung di lehernya. Kenapa harus repot- repot menyeretku untuk menemuinya,
pikirku. Toh lebih mudah menyuruhnya datang menghampiriku. Kulihat dia
berbicara sesuatu ke salah seorang polisi yang tadi menyeretku, berujun dengan
dilepaskannya ikatan di baju aneh ini. Dia mulai menyapa dengan ramah, sedikit
pamer tentang betapa baik hatinya dia mengijinkanku dilepaskan dari ikatan. Aku
curiga dialah si ilmuwan gila yang membuat virus nano yang membuat semua
keadaan segila ini. Lihat saja, nanti ujung- ujungnya dia akan menanyakan
antibodi, yang bahkan aku sendiri tidak tau tahu yang seperti apa. Bisa saja
aku menjelaskan ini kesalah pahaman. Tapi percuma, begitu mereka tahu aku tidak
memilikinya, aku akan dibunuh.
Aku
melompat dari kursiku menerkam si ilmuwan gila. Aku menjambak rambutnya dan
menggigit tubuhnya yang bisa kuraih. Empuk. Kupikir akan sekeras metal. Tampaknya
dia sendiri belum mengoperasi tubuhnya. Ini kesempatan untukku. Dua polisi
penjaga menghampiriku dari belakan berusaha menyergap. Aku sudah membaca
gerakan mereka. Aku menghindar. Berhasil. Kulihat polisi kedua berusa
mengeluarkan pistolnya. Sebisaku aku merebutnya. Dari perebutan itu, tampaknya
pelatuknya tak sengaja tertarik dan selongsong peluru keluar dari corongnya. Disertai
suara letupan. Suara polisi pertama terdengar. Dia berteriak. Polisi itu pasti
terkena peluru tadi. Aku tidak bisa memastikan. Yang ada di kepalaku sekarang
hanyalah merebut pistol ini.
Sukses.
Polisi itu lengah dan aku menendang kelaminnya. Pistol kudapatkan. Aku segera
berlari kearah pintu. Suara letupan tadi pasti akan memancing robot- robot
polisi yang lain untuk menyergapku. Di lorong tempatku berusaha keluar, tampak segerombolan
polisi yang bergerak cepat. Mereka bersiap menghentikanku. Aku sembunyikan
pistol itu dibalik punggungku. Selama mereka pikir aku tidak bersenjata, mereka
tidak akan menembakku. Perlahan kuhampiri mereka. Begitu dekat, dua tarikan
peluru kuluncurkan. Bull’s eye! Tepat menenai kepala dan dada dua orang
petugas. Aku segera berlari melewati mereka dan kini aku di jalan raya. Masih ada
beberapa polisi lagi yang mengejar. Kini mereka mengeluarkan tembakan
peringatan. Aku pasti benar- benar berharga bagi eksperimen mereka. Mereka tidak
langsung membunuhku.
Ak berlari menerobos gerombolan manusia robot yang tampak mengenakan pakaian anak SD. Hatiku mencelos mengetahui bahwa ilmuwan gila tak peduli bahwa mereka masih kecil. Gerombolan itu menatapku,melotot. Astaga, pasti dari mata robot-robot cilik ini akan terpancar sinar laser. Kutembakan sebutir peluru lagi tepat kesalah satu mata robot yang paling dekat. Terdengar jeritan dimana- mana. Pasti suara letupan dari pistolku telah merusak sirkuit mereka. Membuat sistem robot- robot lain di jalanan mengalami malfungsi, sehingga membuat mereka menjerit berhamburan. Aku tidak tahu masih ada berapa peluru yang tersisa. Ditengah kekacauan seperti ini, ditengah kepungan manusia robot seperti ini akhirnya aku tahu. Apapun yang mereka incar dariku. Kesadaranku diperlukan. Aku tidak akan bisa bebas. Jika matiku dapat menghentikan kejahatan mereka. Akan kulakukan. Laipula aku masih punya apa? Kuarahkan ujung pistol ke pelipisku. Kutarik pelatuknya. klik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar