Total Tayangan Halaman

Rabu, 22 Januari 2014

Minta Bebas



Seorang lelaki mengenakan pakaian laboratorium duduk di depanku, hanya ada meja yang memisahkan kami. Sebuah pakaian aneh dipaksakan untuk ku kenakan. Kau tahu seberapa aneh? Aku tidak bisa menggerakan kedua tanganku dengan baju ini. Kedua tanganku dipaksakan untuk menyilang. Lelaki dihadapanku berbicara dengan sok lembut. Tentu aku tahu dia hanya berpura- pura. Aku tidak peduli dia bicara apa. Lebih tepatnya aku tidak mau mendengarkan. Dia tengah mempengaruhi aku.

Kejadian yang terakhir kali ku ingat, gerombolan zombie menyergapku malam itu. Tepat setelah aku membakar rumahku sendiri, karena di dalamnya ada zombie ayam dan kedua orang tuaku yang sudah terkontaminasi. Gerombolan zombie, alias mayat hidup itu bergerak seakan manusia normal. Kulihat bahkan mereka membawa ember atapun menyemprotkan air dari keran melalu selang. Mereka mau menyelamatkan pimpinan mereka, kalau memang benar ayam itu yang mengawali segalanya. Beberapa zombie memegangiku secara erat, tentu aku memberontak. Kau kira aku masih menyebut Tuhan? Kini tidak lagi. Tak ada pertolonan dari-Nya untukku. Aku benar- benar sendiri. Aku terus meronta- ronta. Aku tidak mau tubuhku diambil alih.

Suara- suara sirine terdengar membuat keadaan semakin bising. Tampak mobil pemadam kebakaran, disusul oleh ambulance, dan lalu, dengan jeda waktu cukup lama, mobil polisi. Aku selamat. Mereka akan segera memberangus zombie- zombie ini dan menyelamatkanku. Terdengar beberapa kali suara ledakan. Pasti berasal dari dapur. Tabung gas untuk konsumsi harian ditempatkan bapakku disana. Ya, oleh bapakku, yang kupikir kematiannya akan bermanfaat untuk keberlangsungan hidup manusia. Tampaknya tindakan heroikku terlambat dilakukan.

Lihat itu, orang- orang berseragam polisi menghampiri. Melepaskan cengkraman- cengkraman zombie dariku. Mereka menggiringku ketempat yang lebih aman. Memasukkan aku ke dalam mobil dinas mereka dan melarikan aku kesuatu tempat. Aku terlalu lelah ntuk melihat para polisi menembaki zombie- zombie itu, padahal sangat ingin. Aku terlalu lelah untuk tahu aku akan dibawa kemana. Semuanya menjadi gelap.
Ketika aku kembali sadar, tanganku terikat borgol. Dan aku basah kuyup. Bukan oleh keringat. Ini air biasa. Aku di dudukkan tepat dihadapan seorang polisi yang tangannya telah siap diatas keyboard mesin ketiknya. Huh, zombie sudah mulai bermunculan dan polisi masih saja kolot. Dia menanyakan pertanyaan- pertanyaan tidak bermutu kepadaku. Aku tahu aku diperlukan sebagai saksi kunci untuk kejadian bangkitnya ayam bakar itu. Tapi aku diam. Aku marah kepada mereka. Saksi tidak seharusnya di borgol.

Sikapku yang diam saja tampaknya malah membuat mereka semakin lupa. Beberapa kali tamparan kuterima, sampai akhirnya aku sadar. Semalam bukan zombie. Tak ada dalam sejarah perfilman zombie memiliki intelegensi. Kalau mereka zombie, aku pasti telah tertular ketika mereka menyergap aku. Mereka pasti robot. Semacam terminator, robot yang menyamar menjadi manusia di film yang dibintangi Arnold schwarzenegger, ataupun terkontaminasi virus nano yang bisa mengoperasi tubuh mereka menjadi mesin, dan di suatu tempat sana, sebuah antena tinggi dengan lampu merah berkedip- kedip dioperasikan untuk mengendalikan manusia- manusia di bumi. Entah oleh ilmuwan gila ataupun ras alien. Itulah sebabnya aku ditahan. Itulah kenapa polisi- polisi ini menganiayaku.

Tapi apa salahku? Kenapa aku menjadi sasaran mereka? Apa pula hebatku? Hingga aku tidak terkontaminasi menjadi makhuk semacam mereka? Mungkin secara tidak sengaja aku menemukan antibodi, atau aku sebenarnya bukan dari planet bumi, seperti Clark Kent, alter ego Superman yang di buku- buku komik itu? Tapi bila memang iya, aku tidak merasa ada kesaktian lebih yang kumiliki. Tamparan robot polisi itu masih terasa sakit. Kini aku diseret kembali ke sebuah ruangan.

Aku tak tahu lagi berapa waktu yang sudah terlewati. Mereka kembali menyeretku ke suatu tempat. Kali ini aku tidak diborgol, melainkan mengenakan pakaian aneh yang sudah kugambarkan di awal. Di situ lah pertama kali aku bertemu pria dengan jubah laboratorium itu. Dia bukan dokter, aku yakin. Tak ada stetoskop tergantung di lehernya. Kenapa harus repot- repot menyeretku untuk menemuinya, pikirku. Toh lebih mudah menyuruhnya datang menghampiriku. Kulihat dia berbicara sesuatu ke salah seorang polisi yang tadi menyeretku, berujun dengan dilepaskannya ikatan di baju aneh ini. Dia mulai menyapa dengan ramah, sedikit pamer tentang betapa baik hatinya dia mengijinkanku dilepaskan dari ikatan. Aku curiga dialah si ilmuwan gila yang membuat virus nano yang membuat semua keadaan segila ini. Lihat saja, nanti ujung- ujungnya dia akan menanyakan antibodi, yang bahkan aku sendiri tidak tau tahu yang seperti apa. Bisa saja aku menjelaskan ini kesalah pahaman. Tapi percuma, begitu mereka tahu aku tidak memilikinya, aku akan dibunuh.
Aku melompat dari kursiku menerkam si ilmuwan gila. Aku menjambak rambutnya dan menggigit tubuhnya yang bisa kuraih. Empuk. Kupikir akan sekeras metal. Tampaknya dia sendiri belum mengoperasi tubuhnya. Ini kesempatan untukku. Dua polisi penjaga menghampiriku dari belakan berusaha menyergap. Aku sudah membaca gerakan mereka. Aku menghindar. Berhasil. Kulihat polisi kedua berusa mengeluarkan pistolnya. Sebisaku aku merebutnya. Dari perebutan itu, tampaknya pelatuknya tak sengaja tertarik dan selongsong peluru keluar dari corongnya. Disertai suara letupan. Suara polisi pertama terdengar. Dia berteriak. Polisi itu pasti terkena peluru tadi. Aku tidak bisa memastikan. Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah merebut pistol ini.

Sukses. Polisi itu lengah dan aku menendang kelaminnya. Pistol kudapatkan. Aku segera berlari kearah pintu. Suara letupan tadi pasti akan memancing robot- robot polisi yang lain untuk menyergapku. Di lorong tempatku berusaha keluar, tampak segerombolan polisi yang bergerak cepat. Mereka bersiap menghentikanku. Aku sembunyikan pistol itu dibalik punggungku. Selama mereka pikir aku tidak bersenjata, mereka tidak akan menembakku. Perlahan kuhampiri mereka. Begitu dekat, dua tarikan peluru kuluncurkan. Bull’s eye! Tepat menenai kepala dan dada dua orang petugas. Aku segera berlari melewati mereka dan kini aku di jalan raya. Masih ada beberapa polisi lagi yang mengejar. Kini mereka mengeluarkan tembakan peringatan. Aku pasti benar- benar berharga bagi eksperimen mereka. Mereka tidak langsung membunuhku.

Ak berlari menerobos gerombolan manusia robot yang tampak mengenakan pakaian anak SD. Hatiku mencelos mengetahui bahwa ilmuwan gila tak peduli bahwa mereka masih kecil. Gerombolan itu menatapku,melotot. Astaga, pasti dari mata robot-robot cilik ini akan terpancar sinar laser. Kutembakan sebutir peluru lagi tepat kesalah satu mata robot yang paling dekat. Terdengar jeritan dimana- mana. Pasti suara letupan dari pistolku telah merusak sirkuit mereka. Membuat sistem robot- robot lain di jalanan mengalami malfungsi, sehingga membuat mereka menjerit berhamburan. Aku tidak tahu masih ada berapa peluru yang tersisa. Ditengah kekacauan seperti ini, ditengah kepungan manusia robot seperti ini akhirnya aku tahu. Apapun yang mereka incar dariku. Kesadaranku diperlukan. Aku tidak akan bisa bebas. Jika matiku dapat menghentikan kejahatan mereka. Akan kulakukan. Laipula aku masih punya apa? Kuarahkan ujung pistol ke pelipisku. Kutarik pelatuknya. klik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar