"Tenang saja, perpisahan ini tidak menyedihkan. yang menyedihkan adalah bila habis ini saling lupa"
ujar ibuku, disela- sela nafas terakhirnya. ketika aku yang lama ia diamkan karena tingkah laku ku, mengecup keningnya. ah, keriputnya pun terasa lembut. bayangan- bayangan masa lalu menyeruak, memaksa untuk kukenang di momen- momen yang waktunya mendesak begini. ketika ia mengucapkannya, yang kudapat bukan pandangan dingin seperti yang selama ini kudapat. pandangan itu benar- benar pandangan seorang ibu. seorang wanita yang tidak membunuhku ketika masih bayi.
ya, begitulah ibuku selama lima tahun terakhir ini. sinar mata yang dia keluarkan untukku adalah pandangan jijik, seakan memandang karena terpaksa, karena badanku yang sebesar ini tidak mungkin tidak kelihatan di rumah sempit kami. padahal belasan tahun yang lalu, tatapannya menenangkan, seakan ketika aku menangis, aku seolah mendengar ia berkata
"jangan kecewa, sabar sayang"
dia yang mengajari aku mengucapkan kata- kata baru, dia yang menghendaki aku mengucapkan kata- kata bagus. dia yang dengan bimbang tanya dengan siapa aku pergi. dia yang menanggung malu ketika aku bertindak memalukan. bahkan ketika perbuatanku tidak bisa dia nalar pun dia tidak mengutukku menjadi batu.
dia yang menanyakan kabarku disaat aku tinggal jauh kepada Tuhan, dengan lunglai, karena aku pergi dengan amarah. ketika aku kembali, pun, meski caranya memandangku telah berubah, ia tetap membukakan pintu. dia tidak menganggapku hilang.
mungkin dia marah ketika mas kawin dari almarhum suaminya kucuri, lalu kujual untuk urusanku sendiri. mungkin dia kecewa, ketika aku pulang dengan bau alkohol dengan diantar seorang wanita dengan pakaian yang baginya setengah bugil. mungkin dia murka ketika aku mendengus ketika dia mengingatkan aku untuk kembali mencium sajadah.
lalu saja mengkin dia dengan menahan semua di batinnya seperti selalu pun akhirnya menjadi penyakit yang lalu boleh menggerogotinya. kulitnya kini kendor, karena kurus mendadak. yang kemudian sekarang, mati.
"tenang saja, ibu. yang menyakitkan bukan perpisahan. tetapi jika sudah begitu saling benci"
dengan getar, ujarku, sembari mengiris daging pahanya, untuk makan siangku
terinspirasi dari lirik- lirik lagu The Panas Dalam Bank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar