Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

Dan Sang Pelacur Pun Mencerca


Menyamarkan namaku menjadi Martini, terinspirasi dari merek minuman, aku menjadi  pelacur untuk melayani pria hidung belang kalangan atas. Tak jarang kudapat panggilan untuk menyediakan celah di antara selangkanganku untuk dijejali “lintah” kecil para pejabat negara yang tak bisa dipuaskan oleh istri mereka.
            Keperawananku telah kuserahkan secara cuma- cuma ketika aku masih duduk di bangku SMA kepada mantan pacarku yang dengan lihai kala itu mengelabuhiku. Kunikmati sensasi pedih ketika darah keperawananku meleleh dan menimbulkan rasa geli disekujur pahaku. Selang dua minggu, tubuh dan kehormatanku  dijual oleh pria yang memperawaniku itu kepada guru yang tatkala itu mengancam tidak akan memberinya nilai apabila tidak bisa membujukku untuk bercinta dengan guru botak mesum itu. Berawal dari rasa cinta kepada mantan pacarku, kurelakan jasadku menerima rangsangan dari pria lain. Akan tetapi, semakin berjalannya waktu, hadiah berupa uang tunai yang kudapat menjadikanku gelap mata dan akhirnya secara penuh terjun ke pekerjaan nista itu. Sekalipun, tidak pernah aku berfikir untuk mencari pekerjaan yang kata orang halal.
            Di usiaku yang belum menginjak kepala tiga, aku telah memiliki seorang anak yang kini duduk di bangku taman kanak- kanak. tak tahu lah pria brengsek mana ayah dari anakku ini. Sejauh yang bisa kuingat, aku gagal mendapatkan dokter yang bisa membantu proses aborsi  dan aku tidak mau mengambil resiko dari bantuan non-medis, sejak saat itu pula aku mewajibkan pelangganku untuk memakai kondom atau aku tidak akan mau melayani. Kuputuskan untuk menjadi orang tua tunggal bagi anak itu. Biar kupikir belakangan jawaban apa yang akan kuberikan bila anakku menanyakan siapa ayahnya.
            Sebelumnya, aku tidak pernah memikirkan apapun selain kepentinganku sendiri. Aku mulai tidak percaya adanya tuhan, uang yang kumiliki membuatku tetap nyaman tidur ketika di depan garasi rumahku berdiri pengemis meminta belas kasihan. Hingga suatu ketika, sebuah kejadian memberiku rasa kalut dan memaksaku berpikir jauh lebih dalam.
            Ketika itu, aku mendampingi anakku berdharma wisata di Blitar, tepatnya makam mantan presiden pertama. Kulihat anakku asik berlarian dengan beberapa temannya setelah selesai berziarah, setidaknya itulah istilahnya, meski bagiku, aku hanya menebar bunga diatas gundukan yang digunakan untuk menimbun mayat bapak proklamator itu. Aku duduk di sebuah bangku yang disediakan untuk beristirahat bagi pengunjung. Kulihat, di sebelahku ada pria yang wajahnya entah kenapa tidak asing bagiku. Mungkin pelangganku, atau aku hanya pernah bertemu disuatu tempat. Pria itu mengenakan setelan yang rapi, sepatu pantofel dan peci lengkap dengan jas dan celananya yang sama- sama berwarna putih.
            Ekspresi pria itu tampak sendu, perlahan, tampak butiran air mata mulai meleleh membasahi pipinya.
            “Bapak, Bapak kenapa? Bisa saya bantu?”
Tanyaku kepada pria itu. Tetapi pria itu bergeming, bahkan dia kini menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Kugunakan kelihaianku menggoda pria, perlu waktu yang tidak sebentar, tetapi setidaknya pria itu kini mau menatap wajahku. Dengan suaranya yang khas, dia bercerita padaku
“Saya hanya bisa bersedih melihat apa yang dulu kurintis bersama rekan- rekanku kini telah berantakan.”
Aku terus memperhatikan. Setelah menghela nafas, dia meneruskan ceritanya
“Bagaimana saya tidak bersedih, anak- anakku yang dahulu kubesarkan dengan kerja keras kini berebut tahta, dan di dalam tahtanya, mereka tidak bertindak sebagaimana mestinya.”
“Maksud bapak apa?”
“Aku membayangkan apa yang akan dirasakan oleh Raden Ajeng Kartini apabila ia tahu apa yang dahulu ia perjuangkan emansipasinya kini telah bertindak melampaui apa yang sebenarnya yang dia mau. Kaum hawa dahulu hanya mengenakan kutang karena keterbatasan, kini mereka mengenakan kutang ketat dan berlenggak- lenggok menampilkan kemolekannya di depan yang bukan muhrim. Apa kartini dahulu memperjuangkan yang semacam itu?”
Kupikir pria ini gila, dalam kepalaku kubertanya apa pentingnya bagi dia dengan perjuangan R.A. Kartini.
“aku tidak yakin, hak- hak wanita yang kartini perjuangkan termasuk hak wanita menyerahkan keperawanannya kepada pria yang belum sah menyandang gelar suami bagi si pemilik selaput dara. Aku tidak yakin, emansipasi yang ia perjuangkan termasuk kesetaraan hak bertelanjang dada di muka umum seperti lumrahnya kaum pria. Aku tidak yakin, menjual lubang vagina termasuk pekerjaan yang dirasa layak oleh beliau”
Serasa hatiku di tendang, aku menatap tajam ke pria itu. Bajingan, dalam hati aku yakin pria ini berniat mengolok- olokku. Mungkin dia tahu latar belakangku. Tidak peduli pria itu siapa, aku mendampratnya
“Pak! Kalau bapak tidak suka dengan apa yang saya lakukan, bilang saja langsung! Tidak perlu anda berputar- putar sampai membicarakan masalah emansipasi wanita dan kartini dengan saya! Memangya bapak pikir mereka yang sudah mati masih peduli dengan apa yang terjadi dengan negara ini?” 
Pria itu kembali menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Merasa risih dengan sikap pria itu, aku kembali mencerca
“bapak tidak perlu sok suci dengan saya, lagipula bukan salah saya kalau para pemimpin negara itu hidung belang semua, sudah menjadi tabiat mereka! Lihat itu, mereka yang merekam adegan bercintanya, mereka yang ketika sidang seharusnya memikirkan rakyat malah nonton film cabul, pak, bukan salah si wanita apabila mereka yang menjabat rela membayar pembunuh karena berebut wanita! Salah ya kalau si wanita memerlukan kehidupan layak dan memilih menjadi pelacur daripada menjadi kuli pasar? Saya rasa ibu kita Kartini juga tidak ingin wanita indonesia menjadi supir becak ataupun berlaga di arena tinju!”
Ku selesaikan kalimatku sembari meninggalkan bangku itu, kuhampiri anakku yang kini tengah duduk- duduk karena kelelahan berkejaran dengan temannya. Kulihat keringatnya berkucuran. Kubuka tasku berniat mengambil botol air minum dan tisu untuk anakku, tetapi kedua benda tersebut tidak bisa kutemukan dalam tas ku. Kulirik bangku tempatku bertengkar tadi, mungkin tertinggal disana. Kulihat pria tadi sudah tidak ada. Kuhampiri tempat itu.
Kulihat, ditempat dimana pria brengsek tadi duduk kini ada selembar kertas. Tanpa kusadari kuraih kertas itu. Warnanya kuning kecoklatan, sepertinya sudah sangat tua, ujung- ujungnya bahkan telah keropos seperti bekas terbakar. Seperti terhipnotis, kubuka lipatan kertas itu, ternyata isi dari kertas itu adalah apa yang dikeluhkan pria tadi, emosiku kembali terbakar. Akan tetapi, niatku untuk mencabik- cabik kertas itu kuurungkan setelah tanpa sengaja kubaca tulisan di sudut kanan bawah surat. Sebuah nama yang membuatku sadar siapa pria tadi, Ir. Soekarno. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar