Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

suara- suara//janda-janda (cerpen pertama men, elik)

Ny. Ngadiyem Joyosukarno (R.I.P, fannaly)

              Aku kembali terbangun malam ini, untuk kesekian kalinya, suara- suara bising memancing rasa ingin tahuku untuk mengintip melalui jendela ruang tamu rumah orang tuaku.  Gelap, aku memicingkan mata, memang tidak ada apa- apa. Aku mencoba mendengar suara- suara bising tersebut untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung di salah satu Rumah di daerah lereng gunung sempu, tepat di seberang jalan. Suara wanita tua, seperti malam- malam sebelumnya, merengek- rengek dengan teriakan lemah meminta petugas ronda untuk membukakan pintu. "wong rondha, ngakke lawang…!" berkali- kali kalimat itu yang terdengar. Sayup- sayup suara wanita lain dengan nada tegas menyuruh pemilik suara tua tersebut untuk tidak berisik dan kembali tidur. Terdengar suara wanita tua tersebut semakin menjadi- jadi. Dia mulai menjerit, mengaduh, merintih dan dari suaranya yang tersendat- sendat aku menyimpulkan bahwa si wanita tua itu mulai menangis. 

             Ny. Ngadiyem Joyosukarno, janda dari Alm. Gidin Joyosukarno. Lebih familiar dipanggil Mbah Joyo, anak sulung dari Alm. Paidi Harjopawiro, seorang jagabaya di kampung halamanku dengan Alm. Painem, pasangan yang juga telah melahirkan Alm. Ayah dari ibuku, Sarju Gitosudarjo.  Sebagai orang yang bisa dibilang cucu, hanya itu yang bisa ku ketahui dari masalalu beliau, itupun aku tahu dari bagan silsilah keluarga yang kebetulan aku temukan di tumpukan barang tidak terpakai di gudang kediaman nenekku. Ketika aku masih duduk di bangku taman kanak- kanak, hampir setiap hari aku bermain di halaman luas bagian dari rumah beliau bersama cucu- cucu yang lain, kami memanjat pohon jambu mete, berkejar- kejaran, dan sebagainnya . Ketika itu, yang aku tahu beliau sudah tidak bersuami, untuk mengisi masa tuanya, Mbah Joyo menyibukkan diri dengan membungkusi kacang- kacang kedelai guna dijadikan tempe di dapur tua belakang rumah yang dia diami bersama anak cucunya. Tak jarang, aku masuk ke dapur rumahnnya untuk meminta sebungkus kecil krecek, istilah untuk kedelai calon tempe yang belum mengeluarkan jamur. Pembawaannya yang ramah, membuat aku, dan teman- teman yang lain menyayangi beliau, ketika itu. Mbah Joyo lah pemilik rumah yang berada di selatan gang Ramawijayan, menghadap persis rumah dimana aku tinggal. Sesekali, ketika tempe- tempe beliau selesai produksi dan siap jual, Mbah Joyo biasanya akan menyisihkan satu kantong besar tempe mentah untuk keluargaku, entah beliau antarkan sendiri atau menyuruh seseorang untuk mengantarkan ke rumahku. 

          Di teras rumahku, terdapat semacam rumah kecil berdinding anyaman bambu dimana Alm. Kakekku menampung seorang janda tua yang tidak memiliki keturunan. Ny. Mangun Dikromo, orang yang mengasuh ibuku ketika masih kecil, hingga ibuku menikah  dan memiliki anak, giliran aku dan kedua kakakku yang diasuhnya. Biji dari jambu mete yang berhasil aku kumpulkan dari pekarangan Mbah Joyo ku bawa ke gubug mbah mangun dan meminta beliau untuk menggorengnya.

            Seiring berjalannya waktu, aku tumbuh dewasa dan mulai melupakan pekarangan tempat aku bermain dulu, pohon jambu mete tanpa ku sadari telah lenyap dari pekarangan tersebut. Rumah tua bermodel joglo pun telah direnovasi  setelah hancur karena gempa tektonik beberapa tahun silam.  Beberapa kali  aku mendengar  kabar bahwa Mbah Joyo terpeleset dan tulangnya retak  sehinnga harus di rapikan dengan platina dan sejak itu beliau tidak mampu membuat tempe lagi, kepikunan mulai melandanya. Mbah Mangun yang dulu membuka warung bubur pun kini hanya menghabiskan sisa usianya dengan rutinitas yang tidak pernah berubah. Bangun pada dini hari, menyapu pekarangan rumahku yang beliau anggap nglemeske awak, lalu hanya duduk di depan gubugnya pada sebuah kursi panjang yang sengaja dibelinya dari penjaja yang kebetulan lewat. Memperhatikan jalanan yang tidak terlalu ramai, menyapa anak- anak sekolah dasar yang pulang sekolah dengan ramah, hingga ketika adzan maghrib dikumandangkan,  wanita tua berbadan gemuk itu dengan terseok- seok berjalan memasuki rumahnya dan menyalakan radio tua yang setia menemaninnya. Setiap pagi, Ibuku atau tetangga yang lain mengantarkan makanan untuk beliau, sambil berbasa- basi sebentar untuk menggembirakan hati manula yang kesepian tersebut.

             Tidak hanya sekali ketika aku hendak berpergian, aku melihat Mbah Joyo bertelanjang dada dan hanya mengenakan jarik untuk menutupi kemaluannya. "Sudah sepikun inikah nenek tua itu? Atau sebenarnya beliau sudah tidak waras?" tanyaku dalam hati tanpa mengharapkan jawab.

             Sampai suatu ketika, Mbah Joyo menjadi kerap menghampiri Mbah Mangun dan Marah- Marah dengan alasan yang tidak jelas, Mbah Mangun yang merasa bahwa Mbah Joyo adalah keturunan orang penting hanya bisa mengalah dan hanya bisa menunggu anak cucu dari janda pikun itu menuntun pulang orang itu. Pernah suatu hari Mbah Mangun yang sudah tidak bisa menahan amarah berteriak dengan tegas kepada Mbah Joyo, entah apa yang dikatakannya. Ketika aku sudah berada di tempatkejadian perkara, yang tersisa hanya para tetangga mencoba menenangkan Mbah Mangun dari tangisnya dan Mbah Joyo yang berteriak "Tai! Tai! Tai!" dari seberang jalan karena dia sudah di tarik oleh Budhe Ati, anaknya. Menurut cerita Mbok Win, Mbah Joyo menarik- narik pintu gubuk Mbah Mangun yang ketika itu terkunci, sehingga engsel berkarat pintu tersebut rusak.

              Aku mulai menduga- duga penyebab perubahan sikap Mbah Joyo yang dulu sangat manis dan ramah menjadi sesosok wanita yang kasar dan pemarah. Senyum tulusnya telah lenyap bersamaan dengan habisnnya gigi beliau. Mungkin karena kesepian, mungkin karena renovasi rumah membuatnya merasa asing. Sesekali aku menyempatkan diri duduk santai di teras rumah mencari inspirasi, dan yang tertangkap oleh mataku justru wanita renta tersebut. Kulitnya telah kendor karena daging yang ditutupi telah lenyap. ketika ku lihat beliau bertelanjang dada, tampak jelas payudaranya terjuntai tanpa isi, tulang rusuknya terlihat dengat sangat jelas. Kadang aku berfikir, "kok ya masih hidup ya?" aku memprediksi usiannya, sudah menembus 100 tahun mungkin. Luar biasa, mengingat kondisi fisik dan mentalnya tersebut.

          tahun lalu, ketika aku belum ada satu jam membuka pintu toko mainan dimana aku sempat bekerja paruh waktu, ponselku berbunyi. Ku lihat siapa yang menelfonku, Yudha, tetangga yang sudah bersahabat denganku semenjak kami masih belum mengenal bangku taman kanak- kanak.
Ku angkat telfonku,
      
     "piye mbel? Ada apa?" aku menyapa dia seperti itu, karena memang dia di juluki gembel diantara teman- teman yang lain karena dia ingin sesekali hidup menjadi gembel di luar kota sesekali.
"lagi neng ndi wit?"
"makaryo, piye to?
"anu wit, ngene lho," yudha memulai pembicaraan serius.
"pie ono opo kok njanur gunung?" tanyaku tak sabar
"iso mulih saiki ra? Mbah mangun ki sedha je"
          
aku terdiam sesaat, mencoba mencerna apa yang baru saja sahabatku itu katakan. Kalau tidak salah tangkap, temanku ini baru saja memberi informasi bahwa Mbah Mangun, janda tua yang kesepian itu meninggal, nenek yang ramah itu telah berpulang, pengasuhku ketika aku belum bisa mengguyur kotoranku dulu telah mati.

"wit?"

      Yudha menyadarkanku dari lamunan. Aku tidak salah dengar, Ny. Mangun Dikromo telah lulus dari ujian dunia ini dan dengan sah menyandang gelar Almarhummah. Beliau telah memenuhi syarat terahir untuk diserahi sertifikat berupa batu nisan yang telah dianggap sah. Beliau memang benar telah menyusul suaminnya ke akherat. Yudha menyudahi telefonnya. Aku segera menelfon Himawan, orang yang memperkerjakan aku di toko tersebut. Aku meminta libur hari itu juga. Ku tutup toko, dan aku pulang.

*****************************

           "wong rondha, ngakke lawang…!" Kembali mbah Joyo berteriak- teriak, nampaknya dia benar- benar ingin keluar dari rumah tersebut, mencari kebebasan, mencari suasana baru, meningalkan dunia yang telah melupakannya, mencari-cari orang yang dulu patuh dan setia kepadanya. Aku menutup jendela dan menyudahi kegiatanku mengintip kegaduhan tengah malam itu. "Sinting." pikirku dalam hati, dan aku kembali melanjutkan tidurku.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar