Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

Sendang Kasihan : sarana mengintip ibu ibu =.=

Mengawali tulisan ini dengan sedikit curhatan, seringkali saya merasa penat dengan masalah- masalah yang entah kenapa gemar  nangkring dan membuat saya frustasi. Apabila saya sudah mencapai titik jenuh tak tertahankan, saya mengusir rasa itu dengan kegiatan yang sebenarnya tidak ada gunanya dan cenderung merugikan apabila dilihat dari sudut pandang ekonomis. Biasanya, saya memilih cara menghabiskan bensin yang mulai langka dengan sepeda motor bebek yang sudah menemani saya dari tahun 2006, beberapa bulan setelah tidur saya terganggu oleh goyangan goyangan tektonik yang sudah memotivasi ratusan warga yang senasib dengan saya untuk membangun rumah baru. Apabila bebek saya itu mulai rewel karena kurang pakan dan penat saya belum benar- benar hilang, saya akan menambatkan tunggangan saya itu pada gang kecil yang tidak datar dan sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk parkir karena selain kendaraan yang diklarahke memiliki resiko ambruk karenaq kecuraman gang tersebut, kendaraan itu juga akan mengganggu kenyamanan pengguna gang yang lain. Mengabaian pikiran negatif akan keamanan kendaraan dan memantabkan hati untuk masabodoh apabila ada yang memaki karena perjalanannya terganggu, saya memasuki suatu area yang di lindungi dengan pagar tembok yang menurut saya paasti benda itu dibangun bukan untuk dijadikan media perlindungan dari pencuri karena begitu mudahnya pagar tersebut dipanjat, toh pintu masuk juga setahu saya tidak pernah ditutup apalagi dikunci.
    Di dalam, Yang akan menyambut pertama kali adalah pohon besar yang merunduk seakan memberi penghormatan terhadap pengunjung yang berkenan memasukkan uang seadanya ke dalam kotak sumbangan berwarna hijau yang telah disiapkan pengelola tak jauh dari pohon tersebut. Di bawah pohon tersebut, ada sepasang archa yang saya kenali salah satunya, meskipun sudah rusak, adalah archa dari Ganesha, dewa yang diyakini memiliki wujud dari penyatuan gen antara manusia dengan gajah. Belum pernah saya melihat kembang menyan membolos dari kewajibannya mewangikan archa tersebut.
    Adalah Sendang Kasihan, yang secara administratif, menurut internet, terletak di Dusun Kasihan, Kalurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 1,5km ke barat apabila pengunjung datang dari arah Pabrik Gula Madukismo. Lokasi ini saya sarankan bagi pengunjung yang datang dari simpang empat Ringroad selatan, yang oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan prapatan kasihan mengambil jalan lurus kea rah selatan sekitar 1 km.
    Mengesampingkan permasalahan lahan parkir, zona kungkum bagi orang yang masih memiliki kepercayaan terhadap takhayul ini memiliki keistimewaan yang menurut saya bisa mengobati rasa kecewa apabila di kemudian waktu ketika pengunjung hendak pulang menemui kendaraan yang diparkirkan sudah berganti pose dari berdiri gagah menjadi telentang pasrah menanti belaian supaya kembali berdiri. Keistimewaan yang saya maksud adalah air dari sendang tersebut yang bening dan tidak pernah kering. Sendang ini, apabila di amati dari arah timur akan tampak  secara keseluruhannya seperti pohon beringin (atau pohon apa saja bila dalam persepsi pengunjung lain pola tersebut tidak menyerupai pohon beringin) dan apabila dari arah sebaliknya, yang akan terlihat adalah gambaran seperti kendi, semacam dispenser yang dibuat dari tanah liat, jika anda menginginkan benda ini sebagai cindera mata, benda ini bisa di dapat di Dusun Wisata Gerabah Kasongan, kurang bisa menjelaskan lokasinya,  tetapi saya akan yakin tidak akan menghabiskan waktu seharian meskipun anda berjalan kaki.
    Menurut legenda yang saya dapat di bantulbiz.com, timbulnya sumber air yang kemudian dibangunkan kolam ini konon disebabkan oleh tongkat milik Sunan Kalijaga. Diceritakan, dalam pengembaraannya menyebarkan ajaran agama Islam Sunan Kalijaga ngeceng di daerah Kasihan , dimana ketika itu ia membutuhkan air bersih sedangkan POM belum ada, beliau lalu menancapkan tongkatnya ke tanah, ketika tongkat itu di cabut, keluarlah air dari dalam tanah, terus terang saya prihatin kepada pemilik resmi tanah tersebut ketika itu karena air jernih yang keluar ternyata terkumpul dalam cekungan dan ahirnya di kenal sebagai Sendang Kasihan. Menurut legenda lain, Sendang ini erat hubungannya dengan kisah Rara Pembayun, anak perempuan dari Panembahan Senapati. Dikisahkan, sebelum masuk ke wilayah mangir, wanita itu beserta pengiringnya mandi di sendang ini. (tak ada kisah yang menceritakan pengiring beliau wanita semua. Secara logika, mereka perlu pengawalan dari kaum laki- laki juga, sehingga tidak ada salahnya saya membayangkan bahwa Rara Pembayun juga mandi bersama pengiring laki- lakinya)
    Dari proses penyucian diri di sendang ini konon memberi dampak bagi kecantikan Rara Pembayun. Wajahnya tampak lebih muda, bersinar, dan menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Sayangnya, sepertinya ketika itu mereka beruntung mendapat air yang limited edition.  Karena ketika saya mencoba membasuh muka di situ, wajah saya tetap begini- begini saja.  Ketika saya membiarkan imajinasi saya melayang bebas, saya mendapatkan semacam pencerahan berupa fakta di balik kisah itu. Saya menduga sebelum mandi di sendang itu, rara Pembayung sudah beberapa hari tidak mandi sehingga tampak dekil, lusuh, dan kumal. Oleh karna itu, ketika beliau mandi, semua kotoran terlepas dari tubuhnya yang memang pada aslinya sudah highclass.
    Beruntungnya, sepertinya baru saya saja yang menyadari akan hal tersebut sehingga masih banyak kaum wanita yang percaya numpang mandi di kolam tersebut apalagi ketika memasuki momentum H-1 puasa atau H-1 lebaran dimana banyak yang percaya kewajiban mandi wajib akan lebih mustajab bila di lakukan di sendang ini.  Sebuah tontonan yang menyegarkan pikiran dan melepas penat, di dukung pohon- pohon besar yang memberi nuansa sejuk, stress saya akan dengan sendirinya luntur

2 komentar: